Ditulis Tanggal 15 September 2014
Aku
adalah seorang pelajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Yogyakarta.
Dan tahun ini aku akan menempuh Ujian Nasional untuk mengakhiri masa putih
abu-abuku. Dan ditahun ini pula Joo, akan melaksanakan wisuda S1nya di salah
satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dan akan meninggalkanku di kota
istimewa ini sendirian untuk kembali ke tanah kelahirannya. Joo adalah seorang
mahasiswa semester akhir yang bukan berasal dari kota istimewaku ini. Dia senior
yang aku kenal di sekolah dulu, sudah satu tahun ini kami menjalin hubungan.
Kami berkenalan saat ada acara di salah satu sekolah yang melibatkan
siswa-siswi SMA dan mahasiswa bertemu dalam satu event.
Entah
bagaimana kita bisa berkenalan hingga akhirnya dekat dan menjalin hubungan. Aku
ingat saat dia mengajakku jalan untuk pertama kalinya, dan saat dia menyatakan
cinta di tepi pantai sore itu. Aku selalu merindukan saat-saat bersamanya dulu.
Ujian
Nasional pun berakhir dan di bulan ini lah Joo melangsungkan wisudanya. Betapa
berat hati ini melepas kepergian kekasih hati. Dan aku pun tak tahu kapan kita
bisa bertemu kembali. “Hati-hati sayang! Aku akan selalu merindukanmu,” kataku
sambil memeluknya di ruang tunggu tempat pengantaran terakhir di bandara siang
itu. Tak peduli berapa pasang mata yang memandang kami. “Jaga diri kamu
baik-baik, aku pasti kembali”, katanya sembali mengusap air mata yang berlinang
di pipiku.
Joo
mengecup keningku seolah tak ada seorang pun di tempat itu. Suara mbak-mbak wanita yang mengisyaratkan pesawat
yang ditumpanginya akan segera lepas landas menambah kegelisahan hatiku. Aku
mencoba melepaskan genggaman tanganku dari jari-jarinya yang sedari tadi enggan
aku lepaskan. Anak kecil yang duduk tidak jauh dari dariku entah sengaja atau
tidak memutar lagu di Hpnya, “bersabarlah sayang, aku akan pulang. Jangan
dengarkan gosip belaka tentang aku. Bersabarlah sayang aku akan pulang.....”
Perpisahan
memang tidak ada yang mudah sekalipun itu menjanjikan kebahagiaan. Aku seakan
tidak siap untuk menjalani hari sendiri tanpanya. Yang biasanya kita selalu
makan di warung nasi rames itu berdua, dan setiap aku tidak bisa menghabiskan
nasinya. Aku akan menyuruhmu untuk menghabiskannya sampai ke tulang-tulangnya,
kini aku hanya bisa makan sendiri dan ku buang sisa nasi yang tidak habis itu.
Tidak ada lagi yang aku jambak rambutnya saat aku kesal karena rambut itu tidak
juga di potong, bahkan sudah seperti sarang burung. Tidak ada lagi yang
mengambil foto pose alay dan aku ajak
selfie saat jalan-jalan di pantai,
gunung, sawah, taman, bahkan Malioboro yang dulu rajin kita kunjungi. Tidak lagi
ada suara yang khas yang katanya mirip Judika itu sepanjang jalan aku mengendarai
motor. Karena biasanya aku harus mendengarkan puluhan lagu yang kamu nyanyikan
sepanjang jalan bak mendengarkan radio tanpa berhenti bernyanyi. Tapi semua
itulah yang aku selalu rindukan.
Bulan
pertama terasa begitu asing ketika aku dan dia yang dulunya selalu bersama kini
nyaris tidak pernah bertemu selain di dalam mimpi dan khayalan. Rasa rindu yang
kian menyiksa setiap detiknya terus dan terus saja tak henti-henti menyerang
lubuk hati ini. Bertukar cerita saat larut datang adalah cara kita untuk melepas
sejenak rasa rindu yang bergejolak ini. Sering kali tiba-tiba telepon mati
setelah berjam-jam menelpon lalu ada SMS masuk, “sayang pulsa habis kesel
banget sumpah!” Dan akulah yang selanjutnya akan menelponnya sampai pulsaku pun
ikut habis sebelum kami puas.
Andai
ada makelar rindu yang bisa membeli rasa rindu, mungkin kekayaanku melebihi
kekayaan Bapak Aburizal Bakri yang jadi orang terkaya masa kini di Indonesia. Setiap
malam aku selalu menyempatkan diri untuk melihat foto-foto kita dulu saat
bersama di laptopku. Oh, menatap fotonya seperti hanya meneguk setetes air di
gurun pasir. Mungkin jika operator bisa menyadap SMS kami, mungkin dia akan
bosan mendengar berkali-kali bahkan berjuta kali kami berkata rindu.
Setiap hari kami selalu
menyempatkan diri untuk mengobrol di telepon, dia sering menyanyikan lagu
bersama gitarnya yang dulu sering kita pakai untuk bernyanyi berdua.
“Semua
kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa.
Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang melepas semua kerinduan
yang terpendam.”
Lirik
lagu yang selalu menempel di hatiku, lagu yang sering dia nyanyikan lewat
telepon.
Memasuki tahun kedua perpisahan kita
aku sudah mulai terbiasa melewati kesendirian ini. Rasa cemburu sering kali
terbesit di pikiranku, wajar saja kerena aku benar-benar tidak bisa melihat apa
pun yang dia lakukan di sana. Kadang aku sering kesal saat dia tidak
menghubungiku seharian sampai larut. Tapi aku harus bisa mengerti kapan aku
harus memberi dia perhatian, dan mengerti saat dia tidak ingin diganggu. Kerena
di sana sudah memasuki dunia kerja, cerita terakhirnya lewat telepon kemarin
dia sudah mulai mengajar di salah satu sekolah swasta di kotanya. Dan aku
sendiri sudah mulai sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Di sinilah kita harus
bisa saling mengerti.
Memasuki kesibukannya yang sekarang
sudah menjadi mengajar tetap, membuat Joo sibuk dengan dunia barunya. SMS
berisi “sudah makan? Lagi apa sayang?” sudah mulai jarang aku terima. Malam ini
aku mencoba menghubunginya dan bertanya, “sibuk banget ya Pak Guru?” Beberapa
saat kemudian ada SMS masuk dari Joo, “maaf banget bukan maksud gak hubungin
kamu.....” Mengerti dan mengerti yang hanya bisa aku lakukan saat ini. Meskipun
dalam hati aku rapuh dan butuh pundak untuk bersandar, layaknya perempuan yang
juga butuh diperhatikan. Aku hanya meminta waktu larutnya sebentar saja, biar
aku terima pagi, siang, sorenya dia habiskan untuk kesibukannya. Tapi tolong
untuk larut saja sisakan untukku. Untuk sekadar melepas rindu lewat telepon saja.
Siksaan LDR ini tidak terasa 2 tahun
sudah kita lewati bersama, banyak yang bisa aku ambil dari pohon LDR ini.
Sebongkah kepercayaan saja modal kita satu sama lain. Kesabaran dan penantian
sudah akrab di telinga kami. Di masa kuliahku yang hampir memasuki semester 5
tidak sedikit godaan yang menggoyahkan kesetiaan ini. Tapi tak sedikit pun
terbesit pikiran akan berpalilng dari Joo. Meskipun terkadang terlintas
keraguan tapi aku selalu mencoba percaya karena hanya itu saja modal yang kami
punya. “pacar kamu mana? Cie cie jomblo ya? Udah deh cari aja yang baru,” “kamu
gak takut di sana ditinggal cari sampingan?” kata-kata seperti ini sering kali
terdengar dari mulut teman-temanku. Terlalu panas telinga ini karena terlalu
sering mendengarnya, tapi selalu aku coba membesarkan hati dan menjawab
singkat, “aku yang mengenal dia bukan kalian. Soal sampingan itu tergantung
orangnya.”
Hubungan ini mengajarkanku bagaimana
menghargai satu sama lain, belajar bersabar dan melawan seribu rasa kesepian.
Aku menjadi tahu seberapa berharga seseorang saat dia tidak bersama kita lagi.
Besarnya cintaku pada Joo tidak akan aku menukarnya hanya karena rasa kesepian
ini. Karena keyakinanku hanya satu, hanya menunggu waktu. Dan kebahagiaan ini
akan terpuaskan.
“sayang kamu libur kapan?” tanyaku
lewat telepon disuatu malam yang cukup sepi. “Bulan depan setelah tahun ajaran
ini selesai, insyaallah libur satu bulan. Aku ambil cuti.” Jawabnya datar
terlihat lelah atas sehariannya yang sibuk. “Aku pasti jenguk kamu, kamu yang
sabar,” kata-kata yang paling sering sekali aku dengar dari telepon genggamku
ini. Rasa rindu yang menusuk ini sering kali membuat embun di kedua pelupuk
mataku. Aku hanya bisa berdoa agar segera Tuhan Allah cepat pertemukan kami.
Minggu pagi yang cerah, dengan awan
yang biru merekah dan burung-burung yang bernyanyi dengan kicaunya, menambah
semangatku hari ini. Hari ini free tanpa
jadwal apapun, hanya berbaring di tempat tidur saja sedari pagi. Tiba-tiba HP
pun berbunyi, 1 pesan di terima dari Joo, “Aku sampai Jogja jam 1, kamu bisa
jemput sayang? Aku tunggu di bandara. I Love U,” satu kalimat yang membuat ku
sedikit shock dan tidak bisa berkata
apa-apa. Sudah 2 tahun ini kami benar-benar tidak bertemu, dan tiba saatnya
kita akan bertemu lagi. Begitulah rasanya, tidak mampu lagi di gambarkan. Rasa
rindu yang meletup-letup ini seperti layaknya seekor anak ayam yang tersasar
kemudian bertemu ibunya. Ingin segera memeluk erat ibunya. Tidak pikir panjang
aku langsung membalas pesan itu, “I love U too.”
Segera aku bergegas lari dan
bersiap-siap untuk segera pergi ke bandara. Jam menunjukkan pukul 11, aku tidak
sabar lagi menunggu jam 1 tiba. Mungkin rasa bahagia ini jika dilukiskan di
kain kanvas akan menghabiskan ber-meter-meter kain kanvas. Ingin segera aku
berjumpa dengan pencuri hati itu, sudah tergambar dalam pikiranku bagaimana
keadaannya sekarang. Apa dia sekarang mendadak putih mirip Justin Bieber? Apa
dia sekarang hitam seperti Bapak Obama? Uh aku tidak sabar lagi untuk pertemuan
ini.
Dengan baju warna putih bercorak
bunga-bunga manis dan hijab dominan merah serta sepatu yang tidak kalah ceria
aku segera bergegas menuju bandara. Sesampai di bandara pukul 13.00 WIB aku
menuju ke tempat ruang tunggu yang dulu adalah tempat perpisahan kita serta
menjadi pertemuan terakhir kita. Suasana ramai oleh pengunjung yang mungkin
menjemput atau sedang menunggu pesawatnya tiba. Mungkin juga ada yang bernasip
sama denganku, menanti kekasih hatinya turun dari burung besar yang membawanya
meninggalkanku itu.
Waktu menunjukkan pukul 13.20 WIB aku
sudah tidak sabar lagi menanti Joo datang, tapi entah kenapa tak kunjung
terlihat batang hidungnya. Aku coba kirim sepatah kata lewat SMS, “sayang aku
udah di ruang tunggu. Kamu udah sampai?” Joo membalas pesanku tanpa menunggu
lama, “Pesawatku dellay jam 3 sore
baru sampai sayang, gimana?” “Yasudah aku tunggu. Take care honey.” Ouggh harapanku ingin segera bertemu kekasih hati
harus tertunda, dan aku harus menunggu lebih lama.
Hati semakin gelisah dan rindu ini
semakin berkecamuk, terbesit pikiran sambi menunggu jam 3 aku mencoba menunggu
di kantin bandara. Sekedar melepas kejenuhan, karena memang menunggu itu
membosankan. Aku memesan minuman dan semangkok bakso kepada wanita setengah
baya yang berpakaian rapi warna putih celana hitam itu. Wanita itu mendatangiku
beberapa saat setelah aku duduk di kursi kantin.
Beberapa saat kemudian wanita paruh
baya yang ku tahu dia adalah pelayan di kantin itu datang membawa baki berisi
minuman dan bakso yang aku pesan, “silahkan non baksonya. Ada lagi?” Tiba-tiba
suara yang tidak asing bagiku menjawab dari arah tidak jauh dariku, “tambah
bakso satu ya buk, sama es teh.” Tidak fikir panjang lagi aku tengok ke arah
suara itu. Dan benar saja, rasa tidak percaya itu adalah Joo. Batang hitung
yang sedari tadi aku tunggu-tunggu kini akhirnya datang juga. Dia bohong kalau
pesawatnya sampai Jogja jam 3. Uhh!
Dia tetap saja terlihat manis dengan rambut ikalnya dan senyumnya yang khas.
Rasa haru, sedih, bahagia, kaget
bercampur aduk dalam benak hati. Aku langsung berdiri dan memeluknya tanpa
menghiraukan berapa pasang mata yang menatap ke arah kami. Wanita pelayan
kantin yang sedari tadi melihat kami hanya tersenyum lalu berlalu masuk ke
dalam dapurnya untuk membuatkan pesanan Joo atau mungkin pelanggan lain. Tubuh
ini enggan melepaskan pelukan ini, hanya ini yang jiwaku inginkan saat ini.
Pelukan hangat yang hampir tidak pernah lagi aku rasakan. Tidak bisa digambarkan lagi bagaimana rasa
senang dalam hati ini, setelah 2 tahun kita berpisah dan akhirnya Tuhan Allah
mempertemukan kita lagi.
Joo akhirnya mencoba menyuruhku untuk
melepaskan pelukan kita. Dan kami pun duduk di kantin bandara menunggu makanan Joo yang tadi dipesan. Betapa bahagia
hati ini Tuhan, trimakasih.
Sebulan ini kita lewati hari-hari
bersama, kita kembali menyusuri tempat-tempat yang dulu kita pernah kunjungi.
Sekadar flashback kenangan-kenangan
kita dulu, dan seakan semua seperti saat dulu kita menghabiskan waktu di kota
istimewa ini. Rasa rindu ini puas terbayar sudah tanpa sedikitpun yang tersisa.
Pertemuan ini hanya seperti mimpi dan angan-anganku saja.
Sampai akhirnya tiba saatnya Joo harus
kembali ke tanah kelahirannya untuk melanjutkan kewajibannya di sana. Lagi dan
lagi aku harus merasakan perpisahan yang menyebalkan ini. Andai boleh aku ingin
ikut bersamanya atau dia yang aku tahan untuk tidak pergi lagi. Dengan wajah
cemberut dan kesal karena tidak ingin ada perpisahan aku mengantarkannya lagi
ke bandara, satu-satunya tempat kenangan dan penuh harap. Aku tidak rela dia
meninggalkan ku lagi di kota ini sendiri. “Aku gak mau kamu pergi lagi,” kataku
tanpa melepaskan genggaman tangannya. Dengan senyum dan penuh harap dia
menjawab, “tenang sayang, aku hanya pergi sebentar. Tahun depan setelah kamu
wisuda aku akan datang lagi ke rumahmu membawa kedua orang tuaku dan tidak lupa
membawa cincin untuk melamarmu. Makanya kamu kuliah yang rajin biar cepat
lulus. Semakin lama kamu lulus semakin lama pula pertemuan kita nanti.” Air
mata ini tak kuasa lagi ku bendung, dan mengalir membasahi pipi yang sedari tadi
memerah. Aku hanya mengangguk ternyenyum dan meyakinkan diri, dan pelukan
terkahir ini mengantarkannya untuk pulang. Satu harapan dia berikan sore itu ku
bawa pulang dan ku simpan baik-baik sampai kelak Tuhan Allah mempertemukan kita
lagi. Tidak hanya sekadar pertemuan singkat, tapi pertemuan yang mengantarkan
kami ke pintu kebahagiaan. Terimakasih Tuhan Engkau beri kami kesempatan untuk
bertemu. Terimakasih
Namun ceritaku tidak berakhir manis, Jarak adalah yang selalu dipersalahkan ketika pasangan LDR berpisah. Alih-alih ketidakmampuan mereka menjaga komitmen. Akhirnya kami dipisahkan oleh banyak hal, bukan aku tidak mau berjuang lagi. Hanya aku tak mampu bertahan terlalu lama pada keadaan seperti ini.
Cerita ini kebanyakan hanya fiktif belaka, hanya segelintir pasangan LDR yang berhasil, LDR adalah dimana rumah kamu dan dia tidak mampu ditempuh beberapa jarak. Bukan pasangan yang tinggalnya berjauhan dikarenakan si dia bekerja atau hal lain karena keadaan ini cepat atau lambat dia akan pulang kerumah. Namun tidak ada yang tidak mungkin jika sama-sama ada usaha, pengorbanan banyak dibutuhkan untuk pasangan LDR sesungguhnya seperti ini. Maaf jika ada kesamaan tokoh, cerita, watak penulis mohon maaf.
0 komentar on "Kekasih Pulau Sebrang"
Posting Komentar