Jumat, 10 April 2015

Kekasih Pulau Sebrang

Diposting oleh Unknown di 20.26
Ditulis Tanggal 15 September 2014


Aku adalah seorang pelajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Yogyakarta. Dan tahun ini aku akan menempuh Ujian Nasional untuk mengakhiri masa putih abu-abuku. Dan ditahun ini pula Joo, akan melaksanakan wisuda S1nya di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dan akan meninggalkanku di kota istimewa ini sendirian untuk kembali ke tanah kelahirannya. Joo adalah seorang mahasiswa semester akhir yang bukan berasal dari kota istimewaku ini. Dia senior yang aku kenal di sekolah dulu, sudah satu tahun ini kami menjalin hubungan. Kami berkenalan saat ada acara di salah satu sekolah yang melibatkan siswa-siswi SMA dan mahasiswa bertemu dalam satu event.
Entah bagaimana kita bisa berkenalan hingga akhirnya dekat dan menjalin hubungan. Aku ingat saat dia mengajakku jalan untuk pertama kalinya, dan saat dia menyatakan cinta di tepi pantai sore itu. Aku selalu merindukan saat-saat bersamanya dulu.
Ujian Nasional pun berakhir dan di bulan ini lah Joo melangsungkan wisudanya. Betapa berat hati ini melepas kepergian kekasih hati. Dan aku pun tak tahu kapan kita bisa bertemu kembali. “Hati-hati sayang! Aku akan selalu merindukanmu,” kataku sambil memeluknya di ruang tunggu tempat pengantaran terakhir di bandara siang itu. Tak peduli berapa pasang mata yang memandang kami. “Jaga diri kamu baik-baik, aku pasti kembali”, katanya sembali mengusap air mata yang berlinang di pipiku.
Joo mengecup keningku seolah tak ada seorang pun di tempat itu. Suara mbak-mbak wanita yang mengisyaratkan pesawat yang ditumpanginya akan segera lepas landas menambah kegelisahan hatiku. Aku mencoba melepaskan genggaman tanganku dari jari-jarinya yang sedari tadi enggan aku lepaskan. Anak kecil yang duduk tidak jauh dari dariku entah sengaja atau tidak memutar lagu di Hpnya, “bersabarlah sayang, aku akan pulang. Jangan dengarkan gosip belaka tentang aku. Bersabarlah sayang aku akan pulang.....”
Perpisahan memang tidak ada yang mudah sekalipun itu menjanjikan kebahagiaan. Aku seakan tidak siap untuk menjalani hari sendiri tanpanya. Yang biasanya kita selalu makan di warung nasi rames itu berdua, dan setiap aku tidak bisa menghabiskan nasinya. Aku akan menyuruhmu untuk menghabiskannya sampai ke tulang-tulangnya, kini aku hanya bisa makan sendiri dan ku buang sisa nasi yang tidak habis itu. Tidak ada lagi yang aku jambak rambutnya saat aku kesal karena rambut itu tidak juga di potong, bahkan sudah seperti sarang burung. Tidak ada lagi yang mengambil foto pose alay dan aku ajak selfie saat jalan-jalan di pantai, gunung, sawah, taman, bahkan Malioboro yang dulu rajin kita kunjungi. Tidak lagi ada suara yang khas yang katanya mirip Judika itu sepanjang jalan aku mengendarai motor. Karena biasanya aku harus mendengarkan puluhan lagu yang kamu nyanyikan sepanjang jalan bak mendengarkan radio tanpa berhenti bernyanyi. Tapi semua itulah yang aku selalu rindukan.
Bulan pertama terasa begitu asing ketika aku dan dia yang dulunya selalu bersama kini nyaris tidak pernah bertemu selain di dalam mimpi dan khayalan. Rasa rindu yang kian menyiksa setiap detiknya terus dan terus saja tak henti-henti menyerang lubuk hati ini. Bertukar cerita saat larut datang adalah cara kita untuk melepas sejenak rasa rindu yang bergejolak ini. Sering kali tiba-tiba telepon mati setelah berjam-jam menelpon lalu ada SMS masuk, “sayang pulsa habis kesel banget sumpah!” Dan akulah yang selanjutnya akan menelponnya sampai pulsaku pun ikut habis sebelum kami puas.
Andai ada makelar rindu yang bisa membeli rasa rindu, mungkin kekayaanku melebihi kekayaan Bapak Aburizal Bakri yang jadi orang terkaya masa kini di Indonesia. Setiap malam aku selalu menyempatkan diri untuk melihat foto-foto kita dulu saat bersama di laptopku. Oh, menatap fotonya seperti hanya meneguk setetes air di gurun pasir. Mungkin jika operator bisa menyadap SMS kami, mungkin dia akan bosan mendengar berkali-kali bahkan berjuta kali kami berkata rindu.
Setiap hari kami selalu menyempatkan diri untuk mengobrol di telepon, dia sering menyanyikan lagu bersama gitarnya yang dulu sering kita pakai untuk bernyanyi berdua.
“Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa. Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam.”
Lirik lagu yang selalu menempel di hatiku, lagu yang sering dia nyanyikan lewat telepon.
          Memasuki tahun kedua perpisahan kita aku sudah mulai terbiasa melewati kesendirian ini. Rasa cemburu sering kali terbesit di pikiranku, wajar saja kerena aku benar-benar tidak bisa melihat apa pun yang dia lakukan di sana. Kadang aku sering kesal saat dia tidak menghubungiku seharian sampai larut. Tapi aku harus bisa mengerti kapan aku harus memberi dia perhatian, dan mengerti saat dia tidak ingin diganggu. Kerena di sana sudah memasuki dunia kerja, cerita terakhirnya lewat telepon kemarin dia sudah mulai mengajar di salah satu sekolah swasta di kotanya. Dan aku sendiri sudah mulai sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Di sinilah kita harus bisa saling mengerti.
          Memasuki kesibukannya yang sekarang sudah menjadi mengajar tetap, membuat Joo sibuk dengan dunia barunya. SMS berisi “sudah makan? Lagi apa sayang?” sudah mulai jarang aku terima. Malam ini aku mencoba menghubunginya dan bertanya, “sibuk banget ya Pak Guru?” Beberapa saat kemudian ada SMS masuk dari Joo, “maaf banget bukan maksud gak hubungin kamu.....” Mengerti dan mengerti yang hanya bisa aku lakukan saat ini. Meskipun dalam hati aku rapuh dan butuh pundak untuk bersandar, layaknya perempuan yang juga butuh diperhatikan. Aku hanya meminta waktu larutnya sebentar saja, biar aku terima pagi, siang, sorenya dia habiskan untuk kesibukannya. Tapi tolong untuk larut saja sisakan untukku. Untuk sekadar melepas rindu lewat telepon saja.
          Siksaan LDR ini tidak terasa 2 tahun sudah kita lewati bersama, banyak yang bisa aku ambil dari pohon LDR ini. Sebongkah kepercayaan saja modal kita satu sama lain. Kesabaran dan penantian sudah akrab di telinga kami. Di masa kuliahku yang hampir memasuki semester 5 tidak sedikit godaan yang menggoyahkan kesetiaan ini. Tapi tak sedikit pun terbesit pikiran akan berpalilng dari Joo. Meskipun terkadang terlintas keraguan tapi aku selalu mencoba percaya karena hanya itu saja modal yang kami punya. “pacar kamu mana? Cie cie jomblo ya? Udah deh cari aja yang baru,” “kamu gak takut di sana ditinggal cari sampingan?” kata-kata seperti ini sering kali terdengar dari mulut teman-temanku. Terlalu panas telinga ini karena terlalu sering mendengarnya, tapi selalu aku coba membesarkan hati dan menjawab singkat, “aku yang mengenal dia bukan kalian. Soal sampingan itu tergantung orangnya.”
          Hubungan ini mengajarkanku bagaimana menghargai satu sama lain, belajar bersabar dan melawan seribu rasa kesepian. Aku menjadi tahu seberapa berharga seseorang saat dia tidak bersama kita lagi. Besarnya cintaku pada Joo tidak akan aku menukarnya hanya karena rasa kesepian ini. Karena keyakinanku hanya satu, hanya menunggu waktu. Dan kebahagiaan ini akan terpuaskan.
          “sayang kamu libur kapan?” tanyaku lewat telepon disuatu malam yang cukup sepi. “Bulan depan setelah tahun ajaran ini selesai, insyaallah libur satu bulan. Aku ambil cuti.” Jawabnya datar terlihat lelah atas sehariannya yang sibuk. “Aku pasti jenguk kamu, kamu yang sabar,” kata-kata yang paling sering sekali aku dengar dari telepon genggamku ini. Rasa rindu yang menusuk ini sering kali membuat embun di kedua pelupuk mataku. Aku hanya bisa berdoa agar segera Tuhan Allah cepat pertemukan kami.
          Minggu pagi yang cerah, dengan awan yang biru merekah dan burung-burung yang bernyanyi dengan kicaunya, menambah semangatku hari ini. Hari ini free tanpa jadwal apapun, hanya berbaring di tempat tidur saja sedari pagi. Tiba-tiba HP pun berbunyi, 1 pesan di terima dari Joo, “Aku sampai Jogja jam 1, kamu bisa jemput sayang? Aku tunggu di bandara. I Love U,” satu kalimat yang membuat ku sedikit shock dan tidak bisa berkata apa-apa. Sudah 2 tahun ini kami benar-benar tidak bertemu, dan tiba saatnya kita akan bertemu lagi. Begitulah rasanya, tidak mampu lagi di gambarkan. Rasa rindu yang meletup-letup ini seperti layaknya seekor anak ayam yang tersasar kemudian bertemu ibunya. Ingin segera memeluk erat ibunya. Tidak pikir panjang aku langsung membalas pesan itu, “I love U too.”
          Segera aku bergegas lari dan bersiap-siap untuk segera pergi ke bandara. Jam menunjukkan pukul 11, aku tidak sabar lagi menunggu jam 1 tiba. Mungkin rasa bahagia ini jika dilukiskan di kain kanvas akan menghabiskan ber-meter-meter kain kanvas. Ingin segera aku berjumpa dengan pencuri hati itu, sudah tergambar dalam pikiranku bagaimana keadaannya sekarang. Apa dia sekarang mendadak putih mirip Justin Bieber? Apa dia sekarang hitam seperti Bapak Obama? Uh aku tidak sabar lagi untuk pertemuan ini.
          Dengan baju warna putih bercorak bunga-bunga manis dan hijab dominan merah serta sepatu yang tidak kalah ceria aku segera bergegas menuju bandara. Sesampai di bandara pukul 13.00 WIB aku menuju ke tempat ruang tunggu yang dulu adalah tempat perpisahan kita serta menjadi pertemuan terakhir kita. Suasana ramai oleh pengunjung yang mungkin menjemput atau sedang menunggu pesawatnya tiba. Mungkin juga ada yang bernasip sama denganku, menanti kekasih hatinya turun dari burung besar yang membawanya meninggalkanku itu.
          Waktu menunjukkan pukul 13.20 WIB aku sudah tidak sabar lagi menanti Joo datang, tapi entah kenapa tak kunjung terlihat batang hidungnya. Aku coba kirim sepatah kata lewat SMS, “sayang aku udah di ruang tunggu. Kamu udah sampai?” Joo membalas pesanku tanpa menunggu lama, “Pesawatku dellay jam 3 sore baru sampai sayang, gimana?” “Yasudah aku tunggu. Take care honey.” Ouggh harapanku ingin segera bertemu kekasih hati harus tertunda, dan aku harus menunggu lebih lama.
          Hati semakin gelisah dan rindu ini semakin berkecamuk, terbesit pikiran sambi menunggu jam 3 aku mencoba menunggu di kantin bandara. Sekedar melepas kejenuhan, karena memang menunggu itu membosankan. Aku memesan minuman dan semangkok bakso kepada wanita setengah baya yang berpakaian rapi warna putih celana hitam itu. Wanita itu mendatangiku beberapa saat setelah aku duduk di kursi kantin.
          Beberapa saat kemudian wanita paruh baya yang ku tahu dia adalah pelayan di kantin itu datang membawa baki berisi minuman dan bakso yang aku pesan, “silahkan non baksonya. Ada lagi?” Tiba-tiba suara yang tidak asing bagiku menjawab dari arah tidak jauh dariku, “tambah bakso satu ya buk, sama es teh.” Tidak fikir panjang lagi aku tengok ke arah suara itu. Dan benar saja, rasa tidak percaya itu adalah Joo. Batang hitung yang sedari tadi aku tunggu-tunggu kini akhirnya datang juga. Dia bohong kalau pesawatnya sampai Jogja jam 3. Uhh! Dia tetap saja terlihat manis dengan rambut ikalnya dan senyumnya yang khas.
          Rasa haru, sedih, bahagia, kaget bercampur aduk dalam benak hati. Aku langsung berdiri dan memeluknya tanpa menghiraukan berapa pasang mata yang menatap ke arah kami. Wanita pelayan kantin yang sedari tadi melihat kami hanya tersenyum lalu berlalu masuk ke dalam dapurnya untuk membuatkan pesanan Joo atau mungkin pelanggan lain. Tubuh ini enggan melepaskan pelukan ini, hanya ini yang jiwaku inginkan saat ini. Pelukan hangat yang hampir tidak pernah lagi aku rasakan.  Tidak bisa digambarkan lagi bagaimana rasa senang dalam hati ini, setelah 2 tahun kita berpisah dan akhirnya Tuhan Allah mempertemukan kita lagi.
          Joo akhirnya mencoba menyuruhku untuk melepaskan pelukan kita. Dan kami pun duduk di kantin bandara menunggu  makanan Joo yang tadi dipesan. Betapa bahagia hati ini Tuhan, trimakasih.
          Sebulan ini kita lewati hari-hari bersama, kita kembali menyusuri tempat-tempat yang dulu kita pernah kunjungi. Sekadar flashback kenangan-kenangan kita dulu, dan seakan semua seperti saat dulu kita menghabiskan waktu di kota istimewa ini. Rasa rindu ini puas terbayar sudah tanpa sedikitpun yang tersisa. Pertemuan ini hanya seperti mimpi dan angan-anganku saja.
          Sampai akhirnya tiba saatnya Joo harus kembali ke tanah kelahirannya untuk melanjutkan kewajibannya di sana. Lagi dan lagi aku harus merasakan perpisahan yang menyebalkan ini. Andai boleh aku ingin ikut bersamanya atau dia yang aku tahan untuk tidak pergi lagi. Dengan wajah cemberut dan kesal karena tidak ingin ada perpisahan aku mengantarkannya lagi ke bandara, satu-satunya tempat kenangan dan penuh harap. Aku tidak rela dia meninggalkan ku lagi di kota ini sendiri. “Aku gak mau kamu pergi lagi,” kataku tanpa melepaskan genggaman tangannya. Dengan senyum dan penuh harap dia menjawab, “tenang sayang, aku hanya pergi sebentar. Tahun depan setelah kamu wisuda aku akan datang lagi ke rumahmu membawa kedua orang tuaku dan tidak lupa membawa cincin untuk melamarmu. Makanya kamu kuliah yang rajin biar cepat lulus. Semakin lama kamu lulus semakin lama pula pertemuan kita nanti.” Air mata ini tak kuasa lagi ku bendung, dan mengalir membasahi pipi yang sedari tadi memerah. Aku hanya mengangguk ternyenyum dan meyakinkan diri, dan pelukan terkahir ini mengantarkannya untuk pulang. Satu harapan dia berikan sore itu ku bawa pulang dan ku simpan baik-baik sampai kelak Tuhan Allah mempertemukan kita lagi. Tidak hanya sekadar pertemuan singkat, tapi pertemuan yang mengantarkan kami ke pintu kebahagiaan. Terimakasih Tuhan Engkau beri kami kesempatan untuk bertemu. Terimakasih 
             Namun ceritaku tidak berakhir manis, Jarak adalah yang selalu dipersalahkan ketika pasangan LDR berpisah. Alih-alih ketidakmampuan mereka menjaga komitmen. Akhirnya kami dipisahkan oleh banyak hal, bukan aku tidak mau berjuang lagi. Hanya aku tak mampu bertahan terlalu lama pada keadaan seperti ini.

Cerita ini kebanyakan hanya fiktif belaka, hanya segelintir pasangan LDR yang berhasil, LDR adalah dimana rumah kamu dan dia tidak mampu ditempuh beberapa jarak. Bukan pasangan yang tinggalnya berjauhan dikarenakan si dia bekerja atau hal lain karena keadaan ini cepat atau lambat dia akan pulang kerumah. Namun tidak ada yang tidak mungkin jika sama-sama ada usaha, pengorbanan banyak dibutuhkan untuk pasangan LDR sesungguhnya seperti ini. Maaf jika ada kesamaan tokoh, cerita, watak penulis mohon maaf.

0 komentar on "Kekasih Pulau Sebrang"

Posting Komentar

Kekasih Pulau Sebrang

Ditulis Tanggal 15 September 2014


Aku adalah seorang pelajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Yogyakarta. Dan tahun ini aku akan menempuh Ujian Nasional untuk mengakhiri masa putih abu-abuku. Dan ditahun ini pula Joo, akan melaksanakan wisuda S1nya di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dan akan meninggalkanku di kota istimewa ini sendirian untuk kembali ke tanah kelahirannya. Joo adalah seorang mahasiswa semester akhir yang bukan berasal dari kota istimewaku ini. Dia senior yang aku kenal di sekolah dulu, sudah satu tahun ini kami menjalin hubungan. Kami berkenalan saat ada acara di salah satu sekolah yang melibatkan siswa-siswi SMA dan mahasiswa bertemu dalam satu event.
Entah bagaimana kita bisa berkenalan hingga akhirnya dekat dan menjalin hubungan. Aku ingat saat dia mengajakku jalan untuk pertama kalinya, dan saat dia menyatakan cinta di tepi pantai sore itu. Aku selalu merindukan saat-saat bersamanya dulu.
Ujian Nasional pun berakhir dan di bulan ini lah Joo melangsungkan wisudanya. Betapa berat hati ini melepas kepergian kekasih hati. Dan aku pun tak tahu kapan kita bisa bertemu kembali. “Hati-hati sayang! Aku akan selalu merindukanmu,” kataku sambil memeluknya di ruang tunggu tempat pengantaran terakhir di bandara siang itu. Tak peduli berapa pasang mata yang memandang kami. “Jaga diri kamu baik-baik, aku pasti kembali”, katanya sembali mengusap air mata yang berlinang di pipiku.
Joo mengecup keningku seolah tak ada seorang pun di tempat itu. Suara mbak-mbak wanita yang mengisyaratkan pesawat yang ditumpanginya akan segera lepas landas menambah kegelisahan hatiku. Aku mencoba melepaskan genggaman tanganku dari jari-jarinya yang sedari tadi enggan aku lepaskan. Anak kecil yang duduk tidak jauh dari dariku entah sengaja atau tidak memutar lagu di Hpnya, “bersabarlah sayang, aku akan pulang. Jangan dengarkan gosip belaka tentang aku. Bersabarlah sayang aku akan pulang.....”
Perpisahan memang tidak ada yang mudah sekalipun itu menjanjikan kebahagiaan. Aku seakan tidak siap untuk menjalani hari sendiri tanpanya. Yang biasanya kita selalu makan di warung nasi rames itu berdua, dan setiap aku tidak bisa menghabiskan nasinya. Aku akan menyuruhmu untuk menghabiskannya sampai ke tulang-tulangnya, kini aku hanya bisa makan sendiri dan ku buang sisa nasi yang tidak habis itu. Tidak ada lagi yang aku jambak rambutnya saat aku kesal karena rambut itu tidak juga di potong, bahkan sudah seperti sarang burung. Tidak ada lagi yang mengambil foto pose alay dan aku ajak selfie saat jalan-jalan di pantai, gunung, sawah, taman, bahkan Malioboro yang dulu rajin kita kunjungi. Tidak lagi ada suara yang khas yang katanya mirip Judika itu sepanjang jalan aku mengendarai motor. Karena biasanya aku harus mendengarkan puluhan lagu yang kamu nyanyikan sepanjang jalan bak mendengarkan radio tanpa berhenti bernyanyi. Tapi semua itulah yang aku selalu rindukan.
Bulan pertama terasa begitu asing ketika aku dan dia yang dulunya selalu bersama kini nyaris tidak pernah bertemu selain di dalam mimpi dan khayalan. Rasa rindu yang kian menyiksa setiap detiknya terus dan terus saja tak henti-henti menyerang lubuk hati ini. Bertukar cerita saat larut datang adalah cara kita untuk melepas sejenak rasa rindu yang bergejolak ini. Sering kali tiba-tiba telepon mati setelah berjam-jam menelpon lalu ada SMS masuk, “sayang pulsa habis kesel banget sumpah!” Dan akulah yang selanjutnya akan menelponnya sampai pulsaku pun ikut habis sebelum kami puas.
Andai ada makelar rindu yang bisa membeli rasa rindu, mungkin kekayaanku melebihi kekayaan Bapak Aburizal Bakri yang jadi orang terkaya masa kini di Indonesia. Setiap malam aku selalu menyempatkan diri untuk melihat foto-foto kita dulu saat bersama di laptopku. Oh, menatap fotonya seperti hanya meneguk setetes air di gurun pasir. Mungkin jika operator bisa menyadap SMS kami, mungkin dia akan bosan mendengar berkali-kali bahkan berjuta kali kami berkata rindu.
Setiap hari kami selalu menyempatkan diri untuk mengobrol di telepon, dia sering menyanyikan lagu bersama gitarnya yang dulu sering kita pakai untuk bernyanyi berdua.
“Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa. Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam.”
Lirik lagu yang selalu menempel di hatiku, lagu yang sering dia nyanyikan lewat telepon.
          Memasuki tahun kedua perpisahan kita aku sudah mulai terbiasa melewati kesendirian ini. Rasa cemburu sering kali terbesit di pikiranku, wajar saja kerena aku benar-benar tidak bisa melihat apa pun yang dia lakukan di sana. Kadang aku sering kesal saat dia tidak menghubungiku seharian sampai larut. Tapi aku harus bisa mengerti kapan aku harus memberi dia perhatian, dan mengerti saat dia tidak ingin diganggu. Kerena di sana sudah memasuki dunia kerja, cerita terakhirnya lewat telepon kemarin dia sudah mulai mengajar di salah satu sekolah swasta di kotanya. Dan aku sendiri sudah mulai sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Di sinilah kita harus bisa saling mengerti.
          Memasuki kesibukannya yang sekarang sudah menjadi mengajar tetap, membuat Joo sibuk dengan dunia barunya. SMS berisi “sudah makan? Lagi apa sayang?” sudah mulai jarang aku terima. Malam ini aku mencoba menghubunginya dan bertanya, “sibuk banget ya Pak Guru?” Beberapa saat kemudian ada SMS masuk dari Joo, “maaf banget bukan maksud gak hubungin kamu.....” Mengerti dan mengerti yang hanya bisa aku lakukan saat ini. Meskipun dalam hati aku rapuh dan butuh pundak untuk bersandar, layaknya perempuan yang juga butuh diperhatikan. Aku hanya meminta waktu larutnya sebentar saja, biar aku terima pagi, siang, sorenya dia habiskan untuk kesibukannya. Tapi tolong untuk larut saja sisakan untukku. Untuk sekadar melepas rindu lewat telepon saja.
          Siksaan LDR ini tidak terasa 2 tahun sudah kita lewati bersama, banyak yang bisa aku ambil dari pohon LDR ini. Sebongkah kepercayaan saja modal kita satu sama lain. Kesabaran dan penantian sudah akrab di telinga kami. Di masa kuliahku yang hampir memasuki semester 5 tidak sedikit godaan yang menggoyahkan kesetiaan ini. Tapi tak sedikit pun terbesit pikiran akan berpalilng dari Joo. Meskipun terkadang terlintas keraguan tapi aku selalu mencoba percaya karena hanya itu saja modal yang kami punya. “pacar kamu mana? Cie cie jomblo ya? Udah deh cari aja yang baru,” “kamu gak takut di sana ditinggal cari sampingan?” kata-kata seperti ini sering kali terdengar dari mulut teman-temanku. Terlalu panas telinga ini karena terlalu sering mendengarnya, tapi selalu aku coba membesarkan hati dan menjawab singkat, “aku yang mengenal dia bukan kalian. Soal sampingan itu tergantung orangnya.”
          Hubungan ini mengajarkanku bagaimana menghargai satu sama lain, belajar bersabar dan melawan seribu rasa kesepian. Aku menjadi tahu seberapa berharga seseorang saat dia tidak bersama kita lagi. Besarnya cintaku pada Joo tidak akan aku menukarnya hanya karena rasa kesepian ini. Karena keyakinanku hanya satu, hanya menunggu waktu. Dan kebahagiaan ini akan terpuaskan.
          “sayang kamu libur kapan?” tanyaku lewat telepon disuatu malam yang cukup sepi. “Bulan depan setelah tahun ajaran ini selesai, insyaallah libur satu bulan. Aku ambil cuti.” Jawabnya datar terlihat lelah atas sehariannya yang sibuk. “Aku pasti jenguk kamu, kamu yang sabar,” kata-kata yang paling sering sekali aku dengar dari telepon genggamku ini. Rasa rindu yang menusuk ini sering kali membuat embun di kedua pelupuk mataku. Aku hanya bisa berdoa agar segera Tuhan Allah cepat pertemukan kami.
          Minggu pagi yang cerah, dengan awan yang biru merekah dan burung-burung yang bernyanyi dengan kicaunya, menambah semangatku hari ini. Hari ini free tanpa jadwal apapun, hanya berbaring di tempat tidur saja sedari pagi. Tiba-tiba HP pun berbunyi, 1 pesan di terima dari Joo, “Aku sampai Jogja jam 1, kamu bisa jemput sayang? Aku tunggu di bandara. I Love U,” satu kalimat yang membuat ku sedikit shock dan tidak bisa berkata apa-apa. Sudah 2 tahun ini kami benar-benar tidak bertemu, dan tiba saatnya kita akan bertemu lagi. Begitulah rasanya, tidak mampu lagi di gambarkan. Rasa rindu yang meletup-letup ini seperti layaknya seekor anak ayam yang tersasar kemudian bertemu ibunya. Ingin segera memeluk erat ibunya. Tidak pikir panjang aku langsung membalas pesan itu, “I love U too.”
          Segera aku bergegas lari dan bersiap-siap untuk segera pergi ke bandara. Jam menunjukkan pukul 11, aku tidak sabar lagi menunggu jam 1 tiba. Mungkin rasa bahagia ini jika dilukiskan di kain kanvas akan menghabiskan ber-meter-meter kain kanvas. Ingin segera aku berjumpa dengan pencuri hati itu, sudah tergambar dalam pikiranku bagaimana keadaannya sekarang. Apa dia sekarang mendadak putih mirip Justin Bieber? Apa dia sekarang hitam seperti Bapak Obama? Uh aku tidak sabar lagi untuk pertemuan ini.
          Dengan baju warna putih bercorak bunga-bunga manis dan hijab dominan merah serta sepatu yang tidak kalah ceria aku segera bergegas menuju bandara. Sesampai di bandara pukul 13.00 WIB aku menuju ke tempat ruang tunggu yang dulu adalah tempat perpisahan kita serta menjadi pertemuan terakhir kita. Suasana ramai oleh pengunjung yang mungkin menjemput atau sedang menunggu pesawatnya tiba. Mungkin juga ada yang bernasip sama denganku, menanti kekasih hatinya turun dari burung besar yang membawanya meninggalkanku itu.
          Waktu menunjukkan pukul 13.20 WIB aku sudah tidak sabar lagi menanti Joo datang, tapi entah kenapa tak kunjung terlihat batang hidungnya. Aku coba kirim sepatah kata lewat SMS, “sayang aku udah di ruang tunggu. Kamu udah sampai?” Joo membalas pesanku tanpa menunggu lama, “Pesawatku dellay jam 3 sore baru sampai sayang, gimana?” “Yasudah aku tunggu. Take care honey.” Ouggh harapanku ingin segera bertemu kekasih hati harus tertunda, dan aku harus menunggu lebih lama.
          Hati semakin gelisah dan rindu ini semakin berkecamuk, terbesit pikiran sambi menunggu jam 3 aku mencoba menunggu di kantin bandara. Sekedar melepas kejenuhan, karena memang menunggu itu membosankan. Aku memesan minuman dan semangkok bakso kepada wanita setengah baya yang berpakaian rapi warna putih celana hitam itu. Wanita itu mendatangiku beberapa saat setelah aku duduk di kursi kantin.
          Beberapa saat kemudian wanita paruh baya yang ku tahu dia adalah pelayan di kantin itu datang membawa baki berisi minuman dan bakso yang aku pesan, “silahkan non baksonya. Ada lagi?” Tiba-tiba suara yang tidak asing bagiku menjawab dari arah tidak jauh dariku, “tambah bakso satu ya buk, sama es teh.” Tidak fikir panjang lagi aku tengok ke arah suara itu. Dan benar saja, rasa tidak percaya itu adalah Joo. Batang hitung yang sedari tadi aku tunggu-tunggu kini akhirnya datang juga. Dia bohong kalau pesawatnya sampai Jogja jam 3. Uhh! Dia tetap saja terlihat manis dengan rambut ikalnya dan senyumnya yang khas.
          Rasa haru, sedih, bahagia, kaget bercampur aduk dalam benak hati. Aku langsung berdiri dan memeluknya tanpa menghiraukan berapa pasang mata yang menatap ke arah kami. Wanita pelayan kantin yang sedari tadi melihat kami hanya tersenyum lalu berlalu masuk ke dalam dapurnya untuk membuatkan pesanan Joo atau mungkin pelanggan lain. Tubuh ini enggan melepaskan pelukan ini, hanya ini yang jiwaku inginkan saat ini. Pelukan hangat yang hampir tidak pernah lagi aku rasakan.  Tidak bisa digambarkan lagi bagaimana rasa senang dalam hati ini, setelah 2 tahun kita berpisah dan akhirnya Tuhan Allah mempertemukan kita lagi.
          Joo akhirnya mencoba menyuruhku untuk melepaskan pelukan kita. Dan kami pun duduk di kantin bandara menunggu  makanan Joo yang tadi dipesan. Betapa bahagia hati ini Tuhan, trimakasih.
          Sebulan ini kita lewati hari-hari bersama, kita kembali menyusuri tempat-tempat yang dulu kita pernah kunjungi. Sekadar flashback kenangan-kenangan kita dulu, dan seakan semua seperti saat dulu kita menghabiskan waktu di kota istimewa ini. Rasa rindu ini puas terbayar sudah tanpa sedikitpun yang tersisa. Pertemuan ini hanya seperti mimpi dan angan-anganku saja.
          Sampai akhirnya tiba saatnya Joo harus kembali ke tanah kelahirannya untuk melanjutkan kewajibannya di sana. Lagi dan lagi aku harus merasakan perpisahan yang menyebalkan ini. Andai boleh aku ingin ikut bersamanya atau dia yang aku tahan untuk tidak pergi lagi. Dengan wajah cemberut dan kesal karena tidak ingin ada perpisahan aku mengantarkannya lagi ke bandara, satu-satunya tempat kenangan dan penuh harap. Aku tidak rela dia meninggalkan ku lagi di kota ini sendiri. “Aku gak mau kamu pergi lagi,” kataku tanpa melepaskan genggaman tangannya. Dengan senyum dan penuh harap dia menjawab, “tenang sayang, aku hanya pergi sebentar. Tahun depan setelah kamu wisuda aku akan datang lagi ke rumahmu membawa kedua orang tuaku dan tidak lupa membawa cincin untuk melamarmu. Makanya kamu kuliah yang rajin biar cepat lulus. Semakin lama kamu lulus semakin lama pula pertemuan kita nanti.” Air mata ini tak kuasa lagi ku bendung, dan mengalir membasahi pipi yang sedari tadi memerah. Aku hanya mengangguk ternyenyum dan meyakinkan diri, dan pelukan terkahir ini mengantarkannya untuk pulang. Satu harapan dia berikan sore itu ku bawa pulang dan ku simpan baik-baik sampai kelak Tuhan Allah mempertemukan kita lagi. Tidak hanya sekadar pertemuan singkat, tapi pertemuan yang mengantarkan kami ke pintu kebahagiaan. Terimakasih Tuhan Engkau beri kami kesempatan untuk bertemu. Terimakasih 
             Namun ceritaku tidak berakhir manis, Jarak adalah yang selalu dipersalahkan ketika pasangan LDR berpisah. Alih-alih ketidakmampuan mereka menjaga komitmen. Akhirnya kami dipisahkan oleh banyak hal, bukan aku tidak mau berjuang lagi. Hanya aku tak mampu bertahan terlalu lama pada keadaan seperti ini.

Cerita ini kebanyakan hanya fiktif belaka, hanya segelintir pasangan LDR yang berhasil, LDR adalah dimana rumah kamu dan dia tidak mampu ditempuh beberapa jarak. Bukan pasangan yang tinggalnya berjauhan dikarenakan si dia bekerja atau hal lain karena keadaan ini cepat atau lambat dia akan pulang kerumah. Namun tidak ada yang tidak mungkin jika sama-sama ada usaha, pengorbanan banyak dibutuhkan untuk pasangan LDR sesungguhnya seperti ini. Maaf jika ada kesamaan tokoh, cerita, watak penulis mohon maaf.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

 

Desy Afrida Hardiyati Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez