Jumat, 10 April 2015

Cinta si Anak Luar Biasa

Diposting oleh Unknown di 20.35


Matahari kembali datang menyapa. Aku terbangun saat ku rasa ada bunyi nada monoton yang berbunyi tak jauh dari telingaku. “kringgg kringgg kringgg kringgg” suara alarm jam meja tua hadiah pemberian ayahku saat ulang tahunku yang ke-17. Menandakan jam sudah menunjukkan pukul 5.15 WIB. Aku coba membuka kedua pelupuk mata ini sembari tanganku mencoba meraih jam meja yang aku letakkan di atas meja, bersebelahan dengan kalender duduk, dan lampu hias kecil warna merah. “Bruuggghhhhhh...” “aduhhhhh” badanku malah terjatuh dari ranjang kayu dan terjuntai di atas lantai tanpa alas apapun.
Aku adalah mahasiswa rantauan asal Kulon Progo, DIY bagian barat yang kuliah di suatu perguruan tinggi ternama di Indonesia yang terletak di Yogyakarta. Mahasiswa Supersemar semester akhir dengan nilai-nilai dan prestasi akademik yang cukup memuaskan membuatku banyak dikenal teman-teman kampusku. Karena aku selalu mencoba menjalankan amanah dari ibu saat aku masuk kuliah pertama kali dulu, “kuliah yang benar, pesan ibu satu. Belajar menundukkan kepala, bertanya kepada siapa saja yang bisa kamu anggap guru. Dan selalu memakai ilmu padi yang semakin berisi semakin menunduk.”
Ku buka gorden warna merah jambu yang semampai di balik jendela tua, dan ku buka pula jendela tua itu sampai angin dan cahaya pagi masuk ke dalam kamar kosku di lantai 2 ini. Pagi ini begitu cerah, terdengar suara ayam jago yang sepertinya sedang latihan berkokok atau sedang memikat ayam betina milik tetangga kos ku itu.
Segera aku menuju ke kamar mandi karena rasa ingin segera mengguyur muka dengan air wudhu. Ternyata harapanku tak berjalan begitu mulus, terlihat terlalu banyak antrian orang-orang yang ingin mengguyur muka mereka juga. Beginilah derita anak rantauan yang setiap pagi harus mengantri lumayan lama, beberapa menit yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lain tapi harus digunakan untuk mengantri mandi. Malas rasanya saat pelupuk  mata belum bisa terbuka harus berdiri antri seperti ini. Aku pergi menuju kran air yang sudah mulai karatan di samping kamar mandi, sholat dulu biar nanti mandi setelah sholat pikirku. Segar sekali rasanya terguyur air wudhu ini, Subhanallah.
Jilbab besar yang disebut mukena warna putih bercorak bunga dan bordir pink meski warna pinknya sudah banyak yang mulai luntur karena sering dicuci sudah ku pakai rapi. Mukena ini pemberian ibuku saat pertama masuk kuliah dengan pesan supaya aku tidak pernah melalaikan sholatku agar kuliahku berjalan lancar dan dimudahkan dalam segala hal. Selesai dua rokaat pagi ini tak lupa aku panjatkan doa untuk ibu dan ayahku di rumah agar mereka sehat selalu.
 “Allahumafirlanaa dzunubanaa waliwalidainawarkhamhumaa kamarobbayaanaashoghira Ya Allah ampinilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka seperti mereka mengasihiku sewaktu aku kecil. Amin ya Rabbal’alamin”
Usai berdoa dan berdzikir aku melipat mukena putih yang sudah mulai lusuh ini dan meletakkannya di lemari kecil bersama baju-bajuku. Aku bergegas mengambil handuk dan segera kembali ke kamar mandi dimana tempat orang-orang berantri panjang tadi. Sampai di tempat terlihat tinggal sedikit orang, tinggal tetangga sekaligus teman sebelah kamarku. Kami sama-sama pejuang yang merantau jauh dari orang tua hanya ingin membuat orang tua kita menangis bahagia, bangga melihat kita kelak memakai baju toga lengkap dengan topi toga itu. Dan aku akan menyeka embun di kedua pelupuk mata ibuku nanti.
Jam menunjukkan pukul 8.00 WIB, setelah berdandan rapi dengan hem coklat dan rok hitam serta jilbab krem bermotif bunga-bunga aku bergegas pergi ke kampus. Sambil menunggu ada ‘bus tuyul’ yang lewat aku mengamati sekitar daerahku tinggal. Terlihat sudah sepi, hanya tinggal ibu-ibu yang menyapu dan berberes latar mereka. Tak lama kemudian, ‘bus tuyul’ yang ku nanti-nantikan akhirnya datang. “Jl. Colombo, Karangmalang, Pak!”
Kelas dimulai pukul 9 dan hari ini adalah pembagian tempat pembekalan KKN. Hari-hari kuliah terasa cepat sampai tidak terasa aku akan memasuki semester 8. Semester terakhir dan tahun wisudaku. Dosen membagikan tempat-tempat dimana kami akan mendapatkan pembekalan beserta kelompok KKN-nya dan kelas pun berakhir. Pagi itu aku mendapat tempat pembekalan di Jl. Tamansiswa di suatu gedung lembaga.
Aku sedikit mengeluh setelah acara pembekalan KKN selesai, karena mendapat tempat KKN yang cukup jauh dari kos, dan tempatnya lumayan terpencil jauh dari keramaian. “Jalani saja, mungkin akan menyenangkan hidup di desa. Kamu akan dapat banyak pengalaman baru nduk.” Kata ibu saat aku mengeluh padanya lewat telepon wartel samping kos.
Hari ini adalah hari pertama keberangkatanku KKN. Dan tidak akan pulang sebelum 1 bulan atau setelah tugas KKN ini berakhir. Semalam sudah aku persiapkan semua kebutuhan dan peralatan yang diperlukan sebulan di sana. Berat sekali isi koperku ini, bagai mau pergi merantau lagi di daerah yang lebih jauh. Setelah berkumpul dengan teman-teman satu kelompok KKN kami berangkat dengan berboncengan motor. Barang-barang kami angkut dengan mobil pick-up karena terasa sangat banyak barang bawaan kami.
Tibalah kami di sebuah desa yang sangat jauh dari keramaian, Desa Tanjungsari. Desa yang begitu hijau dengan pohon jati dan pohon pisang dimana-mana. Rindang sekali desa ini, dan tidak terlihat ada gedung pencakar langit sepanjang mata memandang. Udara begitu segar, jauh dari udara di kota. Pemukiman penduduk juga masih jarang-jarang, jarak antar rumah bisa sampai 100m lebih, begitu asri Tanjungsari ini.
Sampai di rumah kepala desa, kami disambut oleh Bapak kepala desa yang kami kenal bernama Pak Sosro dan Ibu kepala desa Ibu Tina. Kami dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu Pak Sosro, di dalam Pak Sosro memberikan sekilas info tentang Desa Tanjungsari ini. Dan tempat-tempat yang mungkin penting bagi kami, seperti warung, puskesmas dan sekolahan. Setelah selesai berbincang dengan Pak Sosro dan minuman sudah tinggal beberapa tetes Pak Sosro mengajak kami ke rumah kosong yang akan kita tempati selama sebulan ini.
Tidak jauh dari rumah Pak Sosro, rumah kecil dengan teras kecil bercat putih yang sudah mulai mengelupas. Aku bersama Ninik, Anik, Sri, Ning dan teman laki-laki Didik, Yono, Tegar membawa masuk semua perlengkapan yang kami bawa dari mobil pick-up. Satu kamar untuk aku, ninik, dan anik. Satu kamar untuk Sri dan Ning. Dan satu kamar untuk laki-laki. Tidak begitu kecil rumah ini, sekiranya sudah cukup untuk 8 orang.
            Jam menunjukkan pukul 7 malam, setelah sholat berjamaah di masjid bersama kawan lain, kami berkumpul di ruang tamu untuk diskusi masalah proker selama KKN. Setiap pagi selama KKN kami akan mengajar di suatu sekolah yang istimewa. Setingkat dengan SLTA, tapi sekolah ini lebih luar biasa karena kami akan mengajar di Sekolah Luar Biasa tingkat SMA di SLB Binajiwa. Kesan awal, aku sama sekali tidak yakin bisa mengajar di sekolah itu karena aku sama sekali tidak punya pengalaman mengajar anak-anak istimewa titipan Illahi ini.
            Kami beranjak tidur dan pergi ke kamar masing-masing setelah pembahasan proker selesai, berharap segera ingin matahari kembali menyapa.
            Pagi ini adalah hari pertama kami datang di SLB Binajiwa, selesai pembagian tugas dan tanggung jawab kelas yang harus diajar oleh Ibu Kepala bagian personalia, kami segera masuk ke kelas masing-masing. Aku bersama Ninik masuk ke kelas 11A yang berisi 20 anak. Ada 13 anak laki-laki dan sisanya perempuan. Wajah polos mereka dengan segala kekurangan yang mereka miliki membuat hatiku bergetar, bangga rasanya aku berdiri di depan mereka. Aku memperkenalkan diri di depan kelas dan mendapat sambutan dari mereka, senyum lepas mereka begitu semangat menjawab salamku, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aku tanyakan pada mereka. Mereka begitu polos, tertawa lepas seakan tidak ada beban pikiran di hidup mereka. Bahagianya, aku sangat terhibur dengan adanya mereka di sekelilingku. Padahal umur mereka yang rata-rata seumuran dengan kami, ada pula yang lebih tua dari kami mahasiswa semester 7.
            Setiap pagi aku semangat sekali berangkat ke sekolah SLB ini. Sampai suatu hari di kelas saat murid yang bernama Budi mengikutiku kemana saja aku pergi. Budi Yulianto anak orang kaya dan terpandang dari Jepara dan terlahir cacat mental, dia pun diasingkan oleh keluarganya di SLB Binajiwa di daerah Tanjungsari yang sangat terpencil. Setiap jam pelajaran selesai dia menangis, dia tidak ingin aku keluar dari ruangan. Apapun yang dia lakukan dia akan selalu ingin di dekatku. Aku tidak merasa aneh sama sekali, justru bahagia jika ada muridku yang dekat denganku.
            Matahari mulai terlihat makin bersembunyi di balik garis katulistiwa membuat bumi Tanjungsari ini sedikit teduh. Awan mulai menjinggakan dirinya dan aku sendiri segera melepaskan penat seharian ini. Merebahkan tubuh di atas tempat tidur tanpa ranjang milik Pak Sosro. Melamun sebentar melepas segala penat dan keringat seharian ini, dan seseorang memanggil namaku membuyarkan lamunanku. Segera aku beranjak dari tempat tidur karena Anik memanggilku karena ada seseorang yang mencariku, ternyata Budi. Aku segera keluar menuju ruang tamu dan tidak melihat Budi di ruangan itu, terlihat meja tua milik Pak Sosro bergerak dan aku tahu itu Budi yang bersembunyi di kolong meja. Entahlah aku tidak mengerti motivasi dia. Aku suruh dia keluar dari kolong meja lalu mengajak dia duduk di kursi tamu diruangan itu.
            Hari-hari selanjutnya kerena tugas kami mengajar murid-murid sekolah SLB Binajiwa membuat rumah kami setiap hari ramai dengan murid-murid yang ingin belajar bersama dirumah, termasuk Budi. Setiap hari dia datang dan seperti biasa dia selalu bersembunyi di kolong meja sampai aku menyuruhnya keluar dari sana, ternyata dia malu. Sampai pada suatu malam minggu aku kedatangan tamu teman laki-laki dari posko KKN sebelah desa saat Budi juga sedang di rumah poskoku. Dia ngambek dan bersembunyi di balik pintu enggan juga keluar sampai teman laki-lakiku pulang.
            Suatu hari Ninik teman sekamarku memberiku selembar surat dengan amplop warna pink entah isinya apa. “Ini dari Budi, katanya untuk kamu” kata Ninik sembari memberikan surat itu. Di dalam amplop itu ada selembar surat dengan surat warna pink dengan animasi bunga-bunga dan tercium seperti ada bau parfum di kertas itu.
                        “Nama: Budi Yulianto
                        Nama Ayah: Yadi Yulianto
                        Nama Ibu: Purwanti Yulianto
Nama Adik: Adi Bakti Yulianto”
Begitulah isi surat itu, aku sungguh tidak mengerti arti dari surat itu. Mungkin hanya iseng karena sudah bisa menulis dan mempraktikan seperti yang di ajarkan di sekolah.
            Pagi ini aku bertemu Budi di sekolah, aku menyapa dan mengajaknya senyum. Tapi entah apa yang ada dalam pikirannya, dia seperti marah padaku. Dengan muka kesal, bibir manyun membuatku tertawa sendiri dalam hati karena aku tidak merasa punya salah apapun padanya. Siangnya ada surat yang sama lagi aku terima, dengan amplop dan isi yang sama persis. Aku belum juga paham maksud Budi mengirim surat ini. aku menganggapnya biasa saja karena memang ada yang kurang pada dirinya. Saat bertemu di sekolah sehari setelah surat itu aku baca, dia bermuka lebih kesal dan ternyata aku tahu dia kesal karena aku tidak membalas surat yang dia kirim. Dan itu berlanjut sampai ada setumpuk surat dari Budi yang isinya sama.
            30 hari sudah kami mengabdi pada desa Tanjungsari dan SLB Binajiwa, tidak terasa sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman luar biasa yang kami ajar di SLB Binajiwa. Teman-teman yang menumbuhkan semangat belajar kami untuk meneruskan perjalanan pendidikan kami lebih tinggi lagi dengan segala kekurangan mereka, mereka bisa punya semangat untuk menuntut ilmu.
            Hari ini adalah hari terakhir mengajar di kelas SLB Binajiwa, berpamitan dengan anak-anak tapi sepertinya mereka tidak berkenan memberi ijin kami pulang. “semangat teman-teman, kalian istimewa dan luar biasa.” Kami pun pulang dengan membawa kenangan dari SLB Binajiwa yang akan selalu ada di hati kami, senyum anak-anak luar biasa yang tidak akan kami lupakan.
            Sore ini setelah membereskan segala pakaian dan barang-barang kami berpamitan dengan Pak sosro, karena kami juga sudah mengadakan perpisahan kecil di kampung tadi malam, kami langsung bersiap untuk perjalanan menuju kota. Tapi muridku Budi yang ikut membantu membereskan barang-barang kami, tidak mengijinkan aku pulang, dia merengek menangis menahanku agar tidak pergi. Dan akhirnya kami pulang setelah Budi di tenangkan oleh Pak Sosro dan Istri setelah aku berjanji akan datang lagi untuk menjenguknya.
            Hari-hari disisa akhir kuliahku berjalan begitu cepat. Aku masih dengan keseharianku di kos dan tugas sekeripsi tentunya yang sudah menantiku untuk selangkah maju menuju baju toga itu. Siang ini aku hanya menganggur dan bosan sekali di kos, tidak ada aktivitas menyenangkan yang bisa aku kerjakan sampai tiba-tiba aku di panggil teman kamar sebelahku. Terdengar ramai diluar sepertinya ada hal yang tidak biasa, ternyata aku kedatangan tamu dari desa Tanjungsari. Aku begitu kaget melihat sosok orang dengan badan besar tinggi, berkumis tipis dan brewok tipis di dahinya. Orang itu berumur sekitar 28th, dia adalah Budi murid SLB Binajiwa. Tidak kaget kalau kos-kosan mendadak heboh karena ada anak SLB yang mencariku.
            Aku sama sekali tidak menyangka Budi bisa sampai ke tempat kos ku yang berjalak jauh dari desa Tanjungsari, aku melihat ditangannya menggenggam kertas bertuliskan “Dari jalan pahlawan Tanjungkarang naik bus Mahardika sampai ke terminal Sukokiwo. Lalu naik BUSKencana bilang sama Pak  Kenek Busmau ke Terminal Giwangan. Lalu turun dan cari Buslagi jurusan Jogja kota baru. Lalu naik BusTuyul sampai ke desa Babarsari RT 4 gang Pandan wangi”. Selembar surat itu dari guru Budi di SLB Binajiwa.
            Aku mengajak Budi jalan-jalan sebentar lalu mampir di warung kopi di Desa tempat aku kos. Banyak juga yang bertanya termasuk Ibu pemilik warung kopi, “adiknya ya mbak?” bingungnya aku mau menjawab apa. Senyum kecil isyarat untuk Ibu pemilik warung kopi, dan semoga Ia paham. Selesai makan aku mengantar Budi ke terminal dan mencarikannya bus yang langsung menuju ke Tanjungsari.
            Sore ini aku mencoba berkelut dengan sekeripsiku, panas dan begitu penat melihat lembar-lembar kertas yang tak kunjung selesai. Tiba-tiba ada Ibu kos yang mengetuk pintu kamarku, aku segera membukakan pintu dan mempersilahkan Beliau masuk. Aku terkejut saat Ibu Kos memberikan kabar tentang kabar Budi yang sekarang sedang Opname di JIH (Jogja International Hospital). Keluarga Budi memintaku untuk datang ke Rumah Sakit atas permintaan Budi karena menurut informasi dari Ibu Kos dia demam tinggi dan mengigo memanggil-manggil namaku. aku segera bergegas mandi dan bersiap ke JIH sore ini juga.
            Sesampai di Rumah Sakit aku langsung menuju ke bagian informasi untuk menanyakan di kamar mana Budi di rawat. Segera aku menuju kamar kelas 1 dan aku mengintip sedikit di balik gorden pintu, aku melihat Budi yang matanya tertutup tapi mulutnya seperti masih berteriak-teriak. Aku beranikan diri untuk masuk menemui Budi dan keluarganya. Aku pegang tangannya dan berkata “Aku di sini Budi, menjenguk kamu. Budi apa kabar?”. Dia membalas memegang tangaku dan membuka matanya, dia terlihat begitu gembira dengan senyum polos selalu dia berikan padaku dulu. Badannya memang panas dan sepertinya keadaaannya buruk.
            Jam kunjung Rumah Sakit sudah habis karena sudah lebih dari jam 8 malam. Aku ingin segera berpamitan dengan Budi dan keluarganya. Tapi Budi mengamuk dan benar-benar tidak mengijinkankku untuk pergi. Dia memegang tanganku erat-erat sambil tetap berteriak-teriak meminta Ibu dan Ayahnya untuk menahanku tetap di sana. Perasaanku campur aduk, dari yang awalnya ragu untuk datang memenuhi permintaan orangtuanya dan sekarang ditambah aku yang tidak di ijinkannya pulang. Ibunya terlihat meneteskan air mata tersirat harapan agar aku tetap di sini menemani sisa hidup Budi. Ada bagian di air mata Ibu Budi yang mengerti perasaanku, tidak mungkin aku mengorbankan hidupku untuk menemani Budi mengorbankan masa depanku yang masih panjang ini. Dan akhirnya dengan terpaksa aku harus meninggalkan Budi yang keadaannya masih buruk dan berharap dia segera sehat kembali. “semoga lekas sembuh ya Budi, aku selalu berdoa untukmu. Kapan-kapan aku akan main ke rumahmu kalau kamu sudah sembuhJ”, meskipun Budi tetap mengamuk dan menangis akan kepergianku malam itu.
            Berbulan-bulan lamanya aku memendam cerita cinta si anak luar biasa itu tanpa ada siapapun yang tahu kecuali Budi dan keluarganya. Sampai suatu hari aku mendengar kabar yang kurang menyenangkan dari teman KKNku dulu. Kabar duka dari Budi Yulianto yang sekarang sudah berpulang dan meninggalkan puing-puing kenangan di hati diumurnya ke-30. Kisah cinta si anak luar biasa yang ternyata endingnya kurang menyenangkan. Dan aku memutuskan untuk menyimpan cerita ini sebagai kenang-kenangan darinya entah kapan kisah ini akan aku kisahkan.
            Rahasia Ilahi yang tidak pernah terfikirkan olehku, yang ternyata anak yang terlahir dengan kekurangannya ternyata bisa merasakan rasanya jatuh cinta seperti manusia pada umumnya. Mungkin hanya sedikit fisik dan mentalnya yang terlahir tidak sempurna tapi hati dan perasaannya terlahir sempurna seperti layaknya manusia yang terlahir normal fisik maupun psikis. Semoga di Surga kelak kita akan bertemu lagi, Budi.
TAMAT


Desy Afrida Hardiyati, 11 April 2015
Cerpen ini dibuat atas inspirasi dari guru tercinta Ibu Samilah, teruntuk beliau dan Budi yang akan selalu menjadi bagian dari cerita hidup Ibu :)

0 komentar on "Cinta si Anak Luar Biasa"

Posting Komentar

Cinta si Anak Luar Biasa



Matahari kembali datang menyapa. Aku terbangun saat ku rasa ada bunyi nada monoton yang berbunyi tak jauh dari telingaku. “kringgg kringgg kringgg kringgg” suara alarm jam meja tua hadiah pemberian ayahku saat ulang tahunku yang ke-17. Menandakan jam sudah menunjukkan pukul 5.15 WIB. Aku coba membuka kedua pelupuk mata ini sembari tanganku mencoba meraih jam meja yang aku letakkan di atas meja, bersebelahan dengan kalender duduk, dan lampu hias kecil warna merah. “Bruuggghhhhhh...” “aduhhhhh” badanku malah terjatuh dari ranjang kayu dan terjuntai di atas lantai tanpa alas apapun.
Aku adalah mahasiswa rantauan asal Kulon Progo, DIY bagian barat yang kuliah di suatu perguruan tinggi ternama di Indonesia yang terletak di Yogyakarta. Mahasiswa Supersemar semester akhir dengan nilai-nilai dan prestasi akademik yang cukup memuaskan membuatku banyak dikenal teman-teman kampusku. Karena aku selalu mencoba menjalankan amanah dari ibu saat aku masuk kuliah pertama kali dulu, “kuliah yang benar, pesan ibu satu. Belajar menundukkan kepala, bertanya kepada siapa saja yang bisa kamu anggap guru. Dan selalu memakai ilmu padi yang semakin berisi semakin menunduk.”
Ku buka gorden warna merah jambu yang semampai di balik jendela tua, dan ku buka pula jendela tua itu sampai angin dan cahaya pagi masuk ke dalam kamar kosku di lantai 2 ini. Pagi ini begitu cerah, terdengar suara ayam jago yang sepertinya sedang latihan berkokok atau sedang memikat ayam betina milik tetangga kos ku itu.
Segera aku menuju ke kamar mandi karena rasa ingin segera mengguyur muka dengan air wudhu. Ternyata harapanku tak berjalan begitu mulus, terlihat terlalu banyak antrian orang-orang yang ingin mengguyur muka mereka juga. Beginilah derita anak rantauan yang setiap pagi harus mengantri lumayan lama, beberapa menit yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lain tapi harus digunakan untuk mengantri mandi. Malas rasanya saat pelupuk  mata belum bisa terbuka harus berdiri antri seperti ini. Aku pergi menuju kran air yang sudah mulai karatan di samping kamar mandi, sholat dulu biar nanti mandi setelah sholat pikirku. Segar sekali rasanya terguyur air wudhu ini, Subhanallah.
Jilbab besar yang disebut mukena warna putih bercorak bunga dan bordir pink meski warna pinknya sudah banyak yang mulai luntur karena sering dicuci sudah ku pakai rapi. Mukena ini pemberian ibuku saat pertama masuk kuliah dengan pesan supaya aku tidak pernah melalaikan sholatku agar kuliahku berjalan lancar dan dimudahkan dalam segala hal. Selesai dua rokaat pagi ini tak lupa aku panjatkan doa untuk ibu dan ayahku di rumah agar mereka sehat selalu.
 “Allahumafirlanaa dzunubanaa waliwalidainawarkhamhumaa kamarobbayaanaashoghira Ya Allah ampinilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka seperti mereka mengasihiku sewaktu aku kecil. Amin ya Rabbal’alamin”
Usai berdoa dan berdzikir aku melipat mukena putih yang sudah mulai lusuh ini dan meletakkannya di lemari kecil bersama baju-bajuku. Aku bergegas mengambil handuk dan segera kembali ke kamar mandi dimana tempat orang-orang berantri panjang tadi. Sampai di tempat terlihat tinggal sedikit orang, tinggal tetangga sekaligus teman sebelah kamarku. Kami sama-sama pejuang yang merantau jauh dari orang tua hanya ingin membuat orang tua kita menangis bahagia, bangga melihat kita kelak memakai baju toga lengkap dengan topi toga itu. Dan aku akan menyeka embun di kedua pelupuk mata ibuku nanti.
Jam menunjukkan pukul 8.00 WIB, setelah berdandan rapi dengan hem coklat dan rok hitam serta jilbab krem bermotif bunga-bunga aku bergegas pergi ke kampus. Sambil menunggu ada ‘bus tuyul’ yang lewat aku mengamati sekitar daerahku tinggal. Terlihat sudah sepi, hanya tinggal ibu-ibu yang menyapu dan berberes latar mereka. Tak lama kemudian, ‘bus tuyul’ yang ku nanti-nantikan akhirnya datang. “Jl. Colombo, Karangmalang, Pak!”
Kelas dimulai pukul 9 dan hari ini adalah pembagian tempat pembekalan KKN. Hari-hari kuliah terasa cepat sampai tidak terasa aku akan memasuki semester 8. Semester terakhir dan tahun wisudaku. Dosen membagikan tempat-tempat dimana kami akan mendapatkan pembekalan beserta kelompok KKN-nya dan kelas pun berakhir. Pagi itu aku mendapat tempat pembekalan di Jl. Tamansiswa di suatu gedung lembaga.
Aku sedikit mengeluh setelah acara pembekalan KKN selesai, karena mendapat tempat KKN yang cukup jauh dari kos, dan tempatnya lumayan terpencil jauh dari keramaian. “Jalani saja, mungkin akan menyenangkan hidup di desa. Kamu akan dapat banyak pengalaman baru nduk.” Kata ibu saat aku mengeluh padanya lewat telepon wartel samping kos.
Hari ini adalah hari pertama keberangkatanku KKN. Dan tidak akan pulang sebelum 1 bulan atau setelah tugas KKN ini berakhir. Semalam sudah aku persiapkan semua kebutuhan dan peralatan yang diperlukan sebulan di sana. Berat sekali isi koperku ini, bagai mau pergi merantau lagi di daerah yang lebih jauh. Setelah berkumpul dengan teman-teman satu kelompok KKN kami berangkat dengan berboncengan motor. Barang-barang kami angkut dengan mobil pick-up karena terasa sangat banyak barang bawaan kami.
Tibalah kami di sebuah desa yang sangat jauh dari keramaian, Desa Tanjungsari. Desa yang begitu hijau dengan pohon jati dan pohon pisang dimana-mana. Rindang sekali desa ini, dan tidak terlihat ada gedung pencakar langit sepanjang mata memandang. Udara begitu segar, jauh dari udara di kota. Pemukiman penduduk juga masih jarang-jarang, jarak antar rumah bisa sampai 100m lebih, begitu asri Tanjungsari ini.
Sampai di rumah kepala desa, kami disambut oleh Bapak kepala desa yang kami kenal bernama Pak Sosro dan Ibu kepala desa Ibu Tina. Kami dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu Pak Sosro, di dalam Pak Sosro memberikan sekilas info tentang Desa Tanjungsari ini. Dan tempat-tempat yang mungkin penting bagi kami, seperti warung, puskesmas dan sekolahan. Setelah selesai berbincang dengan Pak Sosro dan minuman sudah tinggal beberapa tetes Pak Sosro mengajak kami ke rumah kosong yang akan kita tempati selama sebulan ini.
Tidak jauh dari rumah Pak Sosro, rumah kecil dengan teras kecil bercat putih yang sudah mulai mengelupas. Aku bersama Ninik, Anik, Sri, Ning dan teman laki-laki Didik, Yono, Tegar membawa masuk semua perlengkapan yang kami bawa dari mobil pick-up. Satu kamar untuk aku, ninik, dan anik. Satu kamar untuk Sri dan Ning. Dan satu kamar untuk laki-laki. Tidak begitu kecil rumah ini, sekiranya sudah cukup untuk 8 orang.
            Jam menunjukkan pukul 7 malam, setelah sholat berjamaah di masjid bersama kawan lain, kami berkumpul di ruang tamu untuk diskusi masalah proker selama KKN. Setiap pagi selama KKN kami akan mengajar di suatu sekolah yang istimewa. Setingkat dengan SLTA, tapi sekolah ini lebih luar biasa karena kami akan mengajar di Sekolah Luar Biasa tingkat SMA di SLB Binajiwa. Kesan awal, aku sama sekali tidak yakin bisa mengajar di sekolah itu karena aku sama sekali tidak punya pengalaman mengajar anak-anak istimewa titipan Illahi ini.
            Kami beranjak tidur dan pergi ke kamar masing-masing setelah pembahasan proker selesai, berharap segera ingin matahari kembali menyapa.
            Pagi ini adalah hari pertama kami datang di SLB Binajiwa, selesai pembagian tugas dan tanggung jawab kelas yang harus diajar oleh Ibu Kepala bagian personalia, kami segera masuk ke kelas masing-masing. Aku bersama Ninik masuk ke kelas 11A yang berisi 20 anak. Ada 13 anak laki-laki dan sisanya perempuan. Wajah polos mereka dengan segala kekurangan yang mereka miliki membuat hatiku bergetar, bangga rasanya aku berdiri di depan mereka. Aku memperkenalkan diri di depan kelas dan mendapat sambutan dari mereka, senyum lepas mereka begitu semangat menjawab salamku, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aku tanyakan pada mereka. Mereka begitu polos, tertawa lepas seakan tidak ada beban pikiran di hidup mereka. Bahagianya, aku sangat terhibur dengan adanya mereka di sekelilingku. Padahal umur mereka yang rata-rata seumuran dengan kami, ada pula yang lebih tua dari kami mahasiswa semester 7.
            Setiap pagi aku semangat sekali berangkat ke sekolah SLB ini. Sampai suatu hari di kelas saat murid yang bernama Budi mengikutiku kemana saja aku pergi. Budi Yulianto anak orang kaya dan terpandang dari Jepara dan terlahir cacat mental, dia pun diasingkan oleh keluarganya di SLB Binajiwa di daerah Tanjungsari yang sangat terpencil. Setiap jam pelajaran selesai dia menangis, dia tidak ingin aku keluar dari ruangan. Apapun yang dia lakukan dia akan selalu ingin di dekatku. Aku tidak merasa aneh sama sekali, justru bahagia jika ada muridku yang dekat denganku.
            Matahari mulai terlihat makin bersembunyi di balik garis katulistiwa membuat bumi Tanjungsari ini sedikit teduh. Awan mulai menjinggakan dirinya dan aku sendiri segera melepaskan penat seharian ini. Merebahkan tubuh di atas tempat tidur tanpa ranjang milik Pak Sosro. Melamun sebentar melepas segala penat dan keringat seharian ini, dan seseorang memanggil namaku membuyarkan lamunanku. Segera aku beranjak dari tempat tidur karena Anik memanggilku karena ada seseorang yang mencariku, ternyata Budi. Aku segera keluar menuju ruang tamu dan tidak melihat Budi di ruangan itu, terlihat meja tua milik Pak Sosro bergerak dan aku tahu itu Budi yang bersembunyi di kolong meja. Entahlah aku tidak mengerti motivasi dia. Aku suruh dia keluar dari kolong meja lalu mengajak dia duduk di kursi tamu diruangan itu.
            Hari-hari selanjutnya kerena tugas kami mengajar murid-murid sekolah SLB Binajiwa membuat rumah kami setiap hari ramai dengan murid-murid yang ingin belajar bersama dirumah, termasuk Budi. Setiap hari dia datang dan seperti biasa dia selalu bersembunyi di kolong meja sampai aku menyuruhnya keluar dari sana, ternyata dia malu. Sampai pada suatu malam minggu aku kedatangan tamu teman laki-laki dari posko KKN sebelah desa saat Budi juga sedang di rumah poskoku. Dia ngambek dan bersembunyi di balik pintu enggan juga keluar sampai teman laki-lakiku pulang.
            Suatu hari Ninik teman sekamarku memberiku selembar surat dengan amplop warna pink entah isinya apa. “Ini dari Budi, katanya untuk kamu” kata Ninik sembari memberikan surat itu. Di dalam amplop itu ada selembar surat dengan surat warna pink dengan animasi bunga-bunga dan tercium seperti ada bau parfum di kertas itu.
                        “Nama: Budi Yulianto
                        Nama Ayah: Yadi Yulianto
                        Nama Ibu: Purwanti Yulianto
Nama Adik: Adi Bakti Yulianto”
Begitulah isi surat itu, aku sungguh tidak mengerti arti dari surat itu. Mungkin hanya iseng karena sudah bisa menulis dan mempraktikan seperti yang di ajarkan di sekolah.
            Pagi ini aku bertemu Budi di sekolah, aku menyapa dan mengajaknya senyum. Tapi entah apa yang ada dalam pikirannya, dia seperti marah padaku. Dengan muka kesal, bibir manyun membuatku tertawa sendiri dalam hati karena aku tidak merasa punya salah apapun padanya. Siangnya ada surat yang sama lagi aku terima, dengan amplop dan isi yang sama persis. Aku belum juga paham maksud Budi mengirim surat ini. aku menganggapnya biasa saja karena memang ada yang kurang pada dirinya. Saat bertemu di sekolah sehari setelah surat itu aku baca, dia bermuka lebih kesal dan ternyata aku tahu dia kesal karena aku tidak membalas surat yang dia kirim. Dan itu berlanjut sampai ada setumpuk surat dari Budi yang isinya sama.
            30 hari sudah kami mengabdi pada desa Tanjungsari dan SLB Binajiwa, tidak terasa sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman luar biasa yang kami ajar di SLB Binajiwa. Teman-teman yang menumbuhkan semangat belajar kami untuk meneruskan perjalanan pendidikan kami lebih tinggi lagi dengan segala kekurangan mereka, mereka bisa punya semangat untuk menuntut ilmu.
            Hari ini adalah hari terakhir mengajar di kelas SLB Binajiwa, berpamitan dengan anak-anak tapi sepertinya mereka tidak berkenan memberi ijin kami pulang. “semangat teman-teman, kalian istimewa dan luar biasa.” Kami pun pulang dengan membawa kenangan dari SLB Binajiwa yang akan selalu ada di hati kami, senyum anak-anak luar biasa yang tidak akan kami lupakan.
            Sore ini setelah membereskan segala pakaian dan barang-barang kami berpamitan dengan Pak sosro, karena kami juga sudah mengadakan perpisahan kecil di kampung tadi malam, kami langsung bersiap untuk perjalanan menuju kota. Tapi muridku Budi yang ikut membantu membereskan barang-barang kami, tidak mengijinkan aku pulang, dia merengek menangis menahanku agar tidak pergi. Dan akhirnya kami pulang setelah Budi di tenangkan oleh Pak Sosro dan Istri setelah aku berjanji akan datang lagi untuk menjenguknya.
            Hari-hari disisa akhir kuliahku berjalan begitu cepat. Aku masih dengan keseharianku di kos dan tugas sekeripsi tentunya yang sudah menantiku untuk selangkah maju menuju baju toga itu. Siang ini aku hanya menganggur dan bosan sekali di kos, tidak ada aktivitas menyenangkan yang bisa aku kerjakan sampai tiba-tiba aku di panggil teman kamar sebelahku. Terdengar ramai diluar sepertinya ada hal yang tidak biasa, ternyata aku kedatangan tamu dari desa Tanjungsari. Aku begitu kaget melihat sosok orang dengan badan besar tinggi, berkumis tipis dan brewok tipis di dahinya. Orang itu berumur sekitar 28th, dia adalah Budi murid SLB Binajiwa. Tidak kaget kalau kos-kosan mendadak heboh karena ada anak SLB yang mencariku.
            Aku sama sekali tidak menyangka Budi bisa sampai ke tempat kos ku yang berjalak jauh dari desa Tanjungsari, aku melihat ditangannya menggenggam kertas bertuliskan “Dari jalan pahlawan Tanjungkarang naik bus Mahardika sampai ke terminal Sukokiwo. Lalu naik BUSKencana bilang sama Pak  Kenek Busmau ke Terminal Giwangan. Lalu turun dan cari Buslagi jurusan Jogja kota baru. Lalu naik BusTuyul sampai ke desa Babarsari RT 4 gang Pandan wangi”. Selembar surat itu dari guru Budi di SLB Binajiwa.
            Aku mengajak Budi jalan-jalan sebentar lalu mampir di warung kopi di Desa tempat aku kos. Banyak juga yang bertanya termasuk Ibu pemilik warung kopi, “adiknya ya mbak?” bingungnya aku mau menjawab apa. Senyum kecil isyarat untuk Ibu pemilik warung kopi, dan semoga Ia paham. Selesai makan aku mengantar Budi ke terminal dan mencarikannya bus yang langsung menuju ke Tanjungsari.
            Sore ini aku mencoba berkelut dengan sekeripsiku, panas dan begitu penat melihat lembar-lembar kertas yang tak kunjung selesai. Tiba-tiba ada Ibu kos yang mengetuk pintu kamarku, aku segera membukakan pintu dan mempersilahkan Beliau masuk. Aku terkejut saat Ibu Kos memberikan kabar tentang kabar Budi yang sekarang sedang Opname di JIH (Jogja International Hospital). Keluarga Budi memintaku untuk datang ke Rumah Sakit atas permintaan Budi karena menurut informasi dari Ibu Kos dia demam tinggi dan mengigo memanggil-manggil namaku. aku segera bergegas mandi dan bersiap ke JIH sore ini juga.
            Sesampai di Rumah Sakit aku langsung menuju ke bagian informasi untuk menanyakan di kamar mana Budi di rawat. Segera aku menuju kamar kelas 1 dan aku mengintip sedikit di balik gorden pintu, aku melihat Budi yang matanya tertutup tapi mulutnya seperti masih berteriak-teriak. Aku beranikan diri untuk masuk menemui Budi dan keluarganya. Aku pegang tangannya dan berkata “Aku di sini Budi, menjenguk kamu. Budi apa kabar?”. Dia membalas memegang tangaku dan membuka matanya, dia terlihat begitu gembira dengan senyum polos selalu dia berikan padaku dulu. Badannya memang panas dan sepertinya keadaaannya buruk.
            Jam kunjung Rumah Sakit sudah habis karena sudah lebih dari jam 8 malam. Aku ingin segera berpamitan dengan Budi dan keluarganya. Tapi Budi mengamuk dan benar-benar tidak mengijinkankku untuk pergi. Dia memegang tanganku erat-erat sambil tetap berteriak-teriak meminta Ibu dan Ayahnya untuk menahanku tetap di sana. Perasaanku campur aduk, dari yang awalnya ragu untuk datang memenuhi permintaan orangtuanya dan sekarang ditambah aku yang tidak di ijinkannya pulang. Ibunya terlihat meneteskan air mata tersirat harapan agar aku tetap di sini menemani sisa hidup Budi. Ada bagian di air mata Ibu Budi yang mengerti perasaanku, tidak mungkin aku mengorbankan hidupku untuk menemani Budi mengorbankan masa depanku yang masih panjang ini. Dan akhirnya dengan terpaksa aku harus meninggalkan Budi yang keadaannya masih buruk dan berharap dia segera sehat kembali. “semoga lekas sembuh ya Budi, aku selalu berdoa untukmu. Kapan-kapan aku akan main ke rumahmu kalau kamu sudah sembuhJ”, meskipun Budi tetap mengamuk dan menangis akan kepergianku malam itu.
            Berbulan-bulan lamanya aku memendam cerita cinta si anak luar biasa itu tanpa ada siapapun yang tahu kecuali Budi dan keluarganya. Sampai suatu hari aku mendengar kabar yang kurang menyenangkan dari teman KKNku dulu. Kabar duka dari Budi Yulianto yang sekarang sudah berpulang dan meninggalkan puing-puing kenangan di hati diumurnya ke-30. Kisah cinta si anak luar biasa yang ternyata endingnya kurang menyenangkan. Dan aku memutuskan untuk menyimpan cerita ini sebagai kenang-kenangan darinya entah kapan kisah ini akan aku kisahkan.
            Rahasia Ilahi yang tidak pernah terfikirkan olehku, yang ternyata anak yang terlahir dengan kekurangannya ternyata bisa merasakan rasanya jatuh cinta seperti manusia pada umumnya. Mungkin hanya sedikit fisik dan mentalnya yang terlahir tidak sempurna tapi hati dan perasaannya terlahir sempurna seperti layaknya manusia yang terlahir normal fisik maupun psikis. Semoga di Surga kelak kita akan bertemu lagi, Budi.
TAMAT


Desy Afrida Hardiyati, 11 April 2015
Cerpen ini dibuat atas inspirasi dari guru tercinta Ibu Samilah, teruntuk beliau dan Budi yang akan selalu menjadi bagian dari cerita hidup Ibu :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

 

Desy Afrida Hardiyati Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez