Matahari
kembali datang menyapa. Aku terbangun saat ku rasa ada bunyi nada monoton yang
berbunyi tak jauh dari telingaku. “kringgg kringgg kringgg kringgg” suara alarm
jam meja tua hadiah pemberian ayahku saat ulang tahunku yang ke-17. Menandakan
jam sudah menunjukkan pukul 5.15 WIB. Aku coba membuka kedua pelupuk mata ini
sembari tanganku mencoba meraih jam meja yang aku letakkan di atas meja,
bersebelahan dengan kalender duduk, dan lampu hias kecil warna merah.
“Bruuggghhhhhh...” “aduhhhhh” badanku malah terjatuh dari ranjang kayu dan
terjuntai di atas lantai tanpa alas apapun.
Aku adalah mahasiswa
rantauan asal Kulon Progo, DIY bagian barat yang kuliah di suatu perguruan tinggi
ternama di Indonesia yang terletak di Yogyakarta. Mahasiswa Supersemar semester
akhir dengan nilai-nilai dan prestasi akademik yang cukup memuaskan membuatku
banyak dikenal teman-teman kampusku. Karena aku selalu mencoba menjalankan
amanah dari ibu saat aku masuk kuliah pertama kali dulu, “kuliah yang benar,
pesan ibu satu. Belajar menundukkan kepala, bertanya kepada siapa saja yang
bisa kamu anggap guru. Dan selalu memakai ilmu padi yang semakin berisi semakin
menunduk.”
Ku buka gorden warna
merah jambu yang semampai di balik jendela tua, dan ku buka pula jendela tua
itu sampai angin dan cahaya pagi masuk ke dalam kamar kosku di lantai 2 ini.
Pagi ini begitu cerah, terdengar suara ayam jago yang sepertinya sedang latihan
berkokok atau sedang memikat ayam betina milik tetangga kos ku itu.
Segera aku menuju ke
kamar mandi karena rasa ingin segera mengguyur muka dengan air wudhu. Ternyata
harapanku tak berjalan begitu mulus, terlihat terlalu banyak antrian
orang-orang yang ingin mengguyur muka mereka juga. Beginilah derita anak
rantauan yang setiap pagi harus mengantri lumayan lama, beberapa menit yang
seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lain tapi harus digunakan untuk
mengantri mandi. Malas rasanya saat pelupuk
mata belum bisa terbuka harus berdiri antri seperti ini. Aku pergi
menuju kran air yang sudah mulai karatan di samping kamar mandi, sholat dulu
biar nanti mandi setelah sholat pikirku. Segar sekali rasanya terguyur air
wudhu ini, Subhanallah.
Jilbab besar yang
disebut mukena warna putih bercorak bunga dan bordir pink meski warna pinknya
sudah banyak yang mulai luntur karena sering dicuci sudah ku pakai rapi. Mukena
ini pemberian ibuku saat pertama masuk kuliah dengan pesan supaya aku tidak
pernah melalaikan sholatku agar kuliahku berjalan lancar dan dimudahkan dalam
segala hal. Selesai dua rokaat pagi ini tak lupa aku panjatkan doa untuk ibu
dan ayahku di rumah agar mereka sehat selalu.
“Allahumafirlanaa dzunubanaa
waliwalidainawarkhamhumaa kamarobbayaanaashoghira Ya Allah ampinilah dosaku dan
dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka seperti mereka mengasihiku
sewaktu aku kecil. Amin ya Rabbal’alamin”
Usai berdoa dan
berdzikir aku melipat mukena putih yang sudah mulai lusuh ini dan meletakkannya
di lemari kecil bersama baju-bajuku. Aku bergegas mengambil handuk dan segera
kembali ke kamar mandi dimana tempat orang-orang berantri panjang tadi. Sampai
di tempat terlihat tinggal sedikit orang, tinggal tetangga sekaligus teman
sebelah kamarku. Kami sama-sama pejuang yang merantau jauh dari orang tua hanya
ingin membuat orang tua kita menangis bahagia, bangga melihat kita kelak
memakai baju toga lengkap dengan topi toga itu. Dan aku akan menyeka embun di
kedua pelupuk mata ibuku nanti.
Jam menunjukkan pukul
8.00 WIB, setelah berdandan rapi dengan hem coklat dan rok hitam serta jilbab
krem bermotif bunga-bunga aku bergegas pergi ke kampus. Sambil menunggu ada
‘bus tuyul’ yang lewat aku mengamati sekitar daerahku tinggal. Terlihat sudah
sepi, hanya tinggal ibu-ibu yang menyapu dan berberes latar mereka. Tak lama
kemudian, ‘bus tuyul’ yang ku nanti-nantikan akhirnya datang. “Jl. Colombo,
Karangmalang, Pak!”
Kelas dimulai pukul 9
dan hari ini adalah pembagian tempat pembekalan KKN. Hari-hari kuliah terasa
cepat sampai tidak terasa aku akan memasuki semester 8. Semester terakhir dan
tahun wisudaku. Dosen membagikan tempat-tempat dimana kami akan mendapatkan
pembekalan beserta kelompok KKN-nya dan kelas pun berakhir. Pagi itu aku
mendapat tempat pembekalan di Jl. Tamansiswa di suatu gedung lembaga.
Aku sedikit mengeluh
setelah acara pembekalan KKN selesai, karena mendapat tempat KKN yang cukup
jauh dari kos, dan tempatnya lumayan terpencil jauh dari keramaian. “Jalani
saja, mungkin akan menyenangkan hidup di desa. Kamu akan dapat banyak
pengalaman baru nduk.” Kata ibu saat aku mengeluh padanya lewat telepon wartel
samping kos.
Hari ini adalah hari
pertama keberangkatanku KKN. Dan tidak akan pulang sebelum 1 bulan atau setelah
tugas KKN ini berakhir. Semalam sudah aku persiapkan semua kebutuhan dan
peralatan yang diperlukan sebulan di sana. Berat sekali isi koperku ini, bagai
mau pergi merantau lagi di daerah yang lebih jauh. Setelah berkumpul dengan
teman-teman satu kelompok KKN kami berangkat dengan berboncengan motor.
Barang-barang kami angkut dengan mobil pick-up karena terasa sangat banyak
barang bawaan kami.
Tibalah kami di sebuah
desa yang sangat jauh dari keramaian, Desa Tanjungsari. Desa yang begitu hijau
dengan pohon jati dan pohon pisang dimana-mana. Rindang sekali desa ini, dan
tidak terlihat ada gedung pencakar langit sepanjang mata memandang. Udara
begitu segar, jauh dari udara di kota. Pemukiman penduduk juga masih
jarang-jarang, jarak antar rumah bisa sampai 100m lebih, begitu asri Tanjungsari
ini.
Sampai di rumah kepala
desa, kami disambut oleh Bapak kepala desa yang kami kenal bernama Pak Sosro
dan Ibu kepala desa Ibu Tina. Kami dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu Pak
Sosro, di dalam Pak Sosro memberikan sekilas info tentang Desa Tanjungsari ini.
Dan tempat-tempat yang mungkin penting bagi kami, seperti warung, puskesmas dan
sekolahan. Setelah selesai berbincang dengan Pak Sosro dan minuman sudah tinggal
beberapa tetes Pak Sosro mengajak kami ke rumah kosong yang akan kita tempati
selama sebulan ini.
Tidak jauh dari rumah
Pak Sosro, rumah kecil dengan teras kecil bercat putih yang sudah mulai
mengelupas. Aku bersama Ninik, Anik, Sri, Ning dan teman laki-laki Didik, Yono,
Tegar membawa masuk semua perlengkapan yang kami bawa dari mobil pick-up. Satu
kamar untuk aku, ninik, dan anik. Satu kamar untuk Sri dan Ning. Dan satu kamar
untuk laki-laki. Tidak begitu kecil rumah ini, sekiranya sudah cukup untuk 8
orang.
Jam
menunjukkan pukul 7 malam, setelah sholat berjamaah di masjid bersama kawan
lain, kami berkumpul di ruang tamu untuk diskusi masalah proker selama KKN.
Setiap pagi selama KKN kami akan mengajar di suatu sekolah yang istimewa.
Setingkat dengan SLTA, tapi sekolah ini lebih luar biasa karena kami akan mengajar
di Sekolah Luar Biasa tingkat SMA di SLB Binajiwa. Kesan awal, aku sama sekali
tidak yakin bisa mengajar di sekolah itu karena aku sama sekali tidak punya
pengalaman mengajar anak-anak istimewa titipan Illahi ini.
Kami
beranjak tidur dan pergi ke kamar masing-masing setelah pembahasan proker
selesai, berharap segera ingin matahari kembali menyapa.
Pagi
ini adalah hari pertama kami datang di SLB Binajiwa, selesai pembagian tugas
dan tanggung jawab kelas yang harus diajar oleh Ibu Kepala bagian personalia, kami
segera masuk ke kelas masing-masing. Aku bersama Ninik masuk ke kelas 11A yang
berisi 20 anak. Ada 13 anak laki-laki dan sisanya perempuan. Wajah polos mereka
dengan segala kekurangan yang mereka miliki membuat hatiku bergetar, bangga
rasanya aku berdiri di depan mereka. Aku memperkenalkan diri di depan kelas dan
mendapat sambutan dari mereka, senyum lepas mereka begitu semangat menjawab salamku,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aku tanyakan pada mereka. Mereka begitu
polos, tertawa lepas seakan tidak ada beban pikiran di hidup mereka. Bahagianya,
aku sangat terhibur dengan adanya mereka di sekelilingku. Padahal umur mereka
yang rata-rata seumuran dengan kami, ada pula yang lebih tua dari kami
mahasiswa semester 7.
Setiap
pagi aku semangat sekali berangkat ke sekolah SLB ini. Sampai suatu hari di
kelas saat murid yang bernama Budi mengikutiku kemana saja aku pergi. Budi
Yulianto anak orang kaya dan terpandang dari Jepara dan terlahir cacat mental,
dia pun diasingkan oleh keluarganya di SLB Binajiwa di daerah Tanjungsari yang
sangat terpencil. Setiap jam pelajaran selesai dia menangis, dia tidak ingin
aku keluar dari ruangan. Apapun yang dia lakukan dia akan selalu ingin di
dekatku. Aku tidak merasa aneh sama sekali, justru bahagia jika ada muridku
yang dekat denganku.
Matahari
mulai terlihat makin bersembunyi di balik garis katulistiwa membuat bumi Tanjungsari
ini sedikit teduh. Awan mulai menjinggakan dirinya dan aku sendiri segera
melepaskan penat seharian ini. Merebahkan tubuh di atas tempat tidur tanpa
ranjang milik Pak Sosro. Melamun sebentar melepas segala penat dan keringat
seharian ini, dan seseorang memanggil namaku membuyarkan lamunanku. Segera aku
beranjak dari tempat tidur karena Anik memanggilku karena ada seseorang yang
mencariku, ternyata Budi. Aku segera keluar menuju ruang tamu dan tidak melihat
Budi di ruangan itu, terlihat meja tua milik Pak Sosro bergerak dan aku tahu
itu Budi yang bersembunyi di kolong meja. Entahlah aku tidak mengerti motivasi
dia. Aku suruh dia keluar dari kolong meja lalu mengajak dia duduk di kursi
tamu diruangan itu.
Hari-hari
selanjutnya kerena tugas kami mengajar murid-murid sekolah SLB Binajiwa membuat
rumah kami setiap hari ramai dengan murid-murid yang ingin belajar bersama
dirumah, termasuk Budi. Setiap hari dia datang dan seperti biasa dia selalu
bersembunyi di kolong meja sampai aku menyuruhnya keluar dari sana, ternyata dia
malu. Sampai pada suatu malam minggu aku kedatangan tamu teman laki-laki dari
posko KKN sebelah desa saat Budi juga sedang di rumah poskoku. Dia ngambek dan
bersembunyi di balik pintu enggan juga keluar sampai teman laki-lakiku pulang.
Suatu
hari Ninik teman sekamarku memberiku selembar surat dengan amplop warna pink
entah isinya apa. “Ini dari Budi, katanya untuk kamu” kata Ninik sembari
memberikan surat itu. Di dalam amplop itu ada selembar surat dengan surat warna
pink dengan animasi bunga-bunga dan tercium seperti ada bau parfum di kertas
itu.
“Nama:
Budi Yulianto
Nama
Ayah: Yadi Yulianto
Nama
Ibu: Purwanti Yulianto
Nama Adik: Adi Bakti Yulianto”
Begitulah isi surat itu, aku sungguh
tidak mengerti arti dari surat itu. Mungkin hanya iseng karena sudah bisa
menulis dan mempraktikan seperti yang di ajarkan di sekolah.
Pagi
ini aku bertemu Budi di sekolah, aku menyapa dan mengajaknya senyum. Tapi entah
apa yang ada dalam pikirannya, dia seperti marah padaku. Dengan muka kesal,
bibir manyun membuatku tertawa sendiri dalam hati karena aku tidak merasa punya
salah apapun padanya. Siangnya ada surat yang sama lagi aku terima, dengan
amplop dan isi yang sama persis. Aku belum juga paham maksud Budi mengirim
surat ini. aku menganggapnya biasa saja karena memang ada yang kurang pada
dirinya. Saat bertemu di sekolah sehari setelah surat itu aku baca, dia bermuka
lebih kesal dan ternyata aku tahu dia kesal karena aku tidak membalas surat
yang dia kirim. Dan itu berlanjut sampai ada setumpuk surat dari Budi yang
isinya sama.
30
hari sudah kami mengabdi pada desa Tanjungsari dan SLB Binajiwa, tidak terasa
sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman luar biasa yang kami
ajar di SLB Binajiwa. Teman-teman yang menumbuhkan semangat belajar kami untuk
meneruskan perjalanan pendidikan kami lebih tinggi lagi dengan segala
kekurangan mereka, mereka bisa punya semangat untuk menuntut ilmu.
Hari
ini adalah hari terakhir mengajar di kelas SLB Binajiwa, berpamitan dengan
anak-anak tapi sepertinya mereka tidak berkenan memberi ijin kami pulang.
“semangat teman-teman, kalian istimewa dan luar biasa.” Kami pun pulang dengan
membawa kenangan dari SLB Binajiwa yang akan selalu ada di hati kami, senyum
anak-anak luar biasa yang tidak akan kami lupakan.
Sore
ini setelah membereskan segala pakaian dan barang-barang kami berpamitan dengan
Pak sosro, karena kami juga sudah mengadakan perpisahan kecil di kampung tadi
malam, kami langsung bersiap untuk perjalanan menuju kota. Tapi muridku Budi
yang ikut membantu membereskan barang-barang kami, tidak mengijinkan aku
pulang, dia merengek menangis menahanku agar tidak pergi. Dan akhirnya kami
pulang setelah Budi di tenangkan oleh Pak Sosro dan Istri setelah aku berjanji
akan datang lagi untuk menjenguknya.
Hari-hari
disisa akhir kuliahku berjalan begitu cepat. Aku masih dengan keseharianku di
kos dan tugas sekeripsi tentunya yang sudah menantiku untuk selangkah maju menuju
baju toga itu. Siang ini aku hanya menganggur dan bosan sekali di kos, tidak
ada aktivitas menyenangkan yang bisa aku kerjakan sampai tiba-tiba aku di
panggil teman kamar sebelahku. Terdengar ramai diluar sepertinya ada hal yang
tidak biasa, ternyata aku kedatangan tamu dari desa Tanjungsari. Aku begitu
kaget melihat sosok orang dengan badan besar tinggi, berkumis tipis dan brewok
tipis di dahinya. Orang itu berumur sekitar 28th, dia adalah Budi murid SLB Binajiwa.
Tidak kaget kalau kos-kosan mendadak heboh karena ada anak SLB yang mencariku.
Aku
sama sekali tidak menyangka Budi bisa sampai ke tempat kos ku yang berjalak
jauh dari desa Tanjungsari, aku melihat ditangannya menggenggam kertas
bertuliskan “Dari jalan pahlawan Tanjungkarang naik bus Mahardika sampai ke
terminal Sukokiwo. Lalu naik BUSKencana bilang sama Pak Kenek Busmau ke Terminal Giwangan. Lalu turun
dan cari Buslagi jurusan Jogja kota baru. Lalu naik BusTuyul sampai ke desa
Babarsari RT 4 gang Pandan wangi”. Selembar surat itu dari guru Budi di SLB Binajiwa.
Aku
mengajak Budi jalan-jalan sebentar lalu mampir di warung kopi di Desa tempat
aku kos. Banyak juga yang bertanya termasuk Ibu pemilik warung kopi, “adiknya
ya mbak?” bingungnya aku mau menjawab apa. Senyum kecil isyarat untuk Ibu pemilik
warung kopi, dan semoga Ia paham. Selesai makan aku mengantar Budi ke terminal
dan mencarikannya bus yang langsung menuju ke Tanjungsari.
Sore
ini aku mencoba berkelut dengan sekeripsiku, panas dan begitu penat melihat
lembar-lembar kertas yang tak kunjung selesai. Tiba-tiba ada Ibu kos yang
mengetuk pintu kamarku, aku segera membukakan pintu dan mempersilahkan Beliau
masuk. Aku terkejut saat Ibu Kos memberikan kabar tentang kabar Budi yang
sekarang sedang Opname di JIH (Jogja International Hospital). Keluarga Budi
memintaku untuk datang ke Rumah Sakit atas permintaan Budi karena menurut
informasi dari Ibu Kos dia demam tinggi dan mengigo memanggil-manggil namaku.
aku segera bergegas mandi dan bersiap ke JIH sore ini juga.
Sesampai
di Rumah Sakit aku langsung menuju ke bagian informasi untuk menanyakan di
kamar mana Budi di rawat. Segera aku menuju kamar kelas 1 dan aku mengintip
sedikit di balik gorden pintu, aku melihat Budi yang matanya tertutup tapi
mulutnya seperti masih berteriak-teriak. Aku beranikan diri untuk masuk menemui
Budi dan keluarganya. Aku pegang tangannya dan berkata “Aku di sini Budi,
menjenguk kamu. Budi apa kabar?”. Dia membalas memegang tangaku dan membuka matanya,
dia terlihat begitu gembira dengan senyum polos selalu dia berikan padaku dulu.
Badannya memang panas dan sepertinya keadaaannya buruk.
Jam
kunjung Rumah Sakit sudah habis karena sudah lebih dari jam 8 malam. Aku ingin
segera berpamitan dengan Budi dan keluarganya. Tapi Budi mengamuk dan
benar-benar tidak mengijinkankku untuk pergi. Dia memegang tanganku erat-erat
sambil tetap berteriak-teriak meminta Ibu dan Ayahnya untuk menahanku tetap di
sana. Perasaanku campur aduk, dari yang awalnya ragu untuk datang memenuhi
permintaan orangtuanya dan sekarang ditambah aku yang tidak di ijinkannya
pulang. Ibunya terlihat meneteskan air mata tersirat harapan agar aku tetap di
sini menemani sisa hidup Budi. Ada bagian di air mata Ibu Budi yang mengerti
perasaanku, tidak mungkin aku mengorbankan hidupku untuk menemani Budi mengorbankan
masa depanku yang masih panjang ini. Dan akhirnya dengan terpaksa aku harus
meninggalkan Budi yang keadaannya masih buruk dan berharap dia segera sehat
kembali. “semoga lekas sembuh ya Budi, aku selalu berdoa untukmu. Kapan-kapan
aku akan main ke rumahmu kalau kamu sudah sembuhJ”, meskipun Budi
tetap mengamuk dan menangis akan kepergianku malam itu.
Berbulan-bulan
lamanya aku memendam cerita cinta si anak luar biasa itu tanpa ada siapapun
yang tahu kecuali Budi dan keluarganya. Sampai suatu hari aku mendengar kabar
yang kurang menyenangkan dari teman KKNku dulu. Kabar duka dari Budi Yulianto
yang sekarang sudah berpulang dan meninggalkan puing-puing kenangan di hati
diumurnya ke-30. Kisah cinta si anak luar biasa yang ternyata endingnya kurang
menyenangkan. Dan aku memutuskan untuk menyimpan cerita ini sebagai
kenang-kenangan darinya entah kapan kisah ini akan aku kisahkan.
Rahasia Ilahi yang tidak pernah
terfikirkan olehku, yang ternyata anak yang terlahir dengan kekurangannya
ternyata bisa merasakan rasanya jatuh cinta seperti manusia pada umumnya.
Mungkin hanya sedikit fisik dan mentalnya yang terlahir tidak sempurna tapi
hati dan perasaannya terlahir sempurna seperti layaknya manusia yang terlahir
normal fisik maupun psikis. Semoga di Surga kelak kita akan bertemu lagi, Budi.
TAMAT
Desy Afrida Hardiyati, 11 April 2015
Cerpen ini dibuat atas inspirasi dari guru tercinta Ibu Samilah, teruntuk beliau dan Budi yang akan selalu menjadi bagian dari cerita hidup Ibu :)